Tulisan Panjang
06/05/2021 23:38
Aku menulis ini usai mandi air hangat di tengah malam yang
gerah, dengan kantung mata yang menebal dan kantuk yang memenuhi pelupuk mata.
Kurang dari dua jam lalu aku baru menginjakkan kaki di rumah, mestinya aku
berbuat baik pada diriku dengan membiarkannya segera beranjak tidur. Namun, aku
memilih duduk dan menuliskan ini—sebuah niat yang sudah begitu lama
kutunda-tunda.
Tidak ada alasan khusus, hanya telah lama sadar tulisanku
begitu banyak terserak di banyak tempat. Aku begitu jujur pada setiap untaian
katanya; kubiarkan emosiku mengalir menjadi pena. Sampai pada satu titik, aku
berencana untuk menghapusnya. Bukan karena telah sempurna baik-baik saja dan
melupakan seluruh “masa kelam” itu, aku hanya merasa ada ruang lebih tepat
untuk membagikannya; bahwa aku harus menarik batasan jelas antara eksistensiku
dan semesta. Namun, aku juga harus memberikan sebuah “penutup”—maka lahirlah
Tulisan Panjang ini. Oke, sekian intronya.
(I)
Tujuh bulan lebih berlalu sejak pertama kalinya awan mendung
yang telah menggayuti langit cerahku berbulan-bulan lamanya, melahirkan hujan
deras yang lebat. Perlahan, berubah menjadi badai. Dulu, aku seperti berjalan
menuju tebing curam. Aku tahu persis arahnya, tapi kupikir bila aku meniti
langkah pelan dan ekstra hati-hati, aku akan terhindar dari kengerian di ujung
sana. Apa mau dikata, Tuhan sudah menakdirkan kakiku tetap mengarah ke
sana. Aku memang diharuskan jatuh, dan bersusah-payah menggapai tepinya
untuk bisa kembali hidup.
Aku takkan pernah kehabisan kata-kata untuk
menggambarkan kegelapan itu. Menjelma jadi sosok yang bukan aku. Setiap
hari adalah siksaan, tidur bagai obat pereda nyeri yang melarikan diri dari
realita sementara. Terjaga tak lebih baik sama sekali. Begitu kacau segalanya
hingga nyaris kehilangan diri sendiri—atau sudah? Hingga saat ini, aku tak
pernah benar-benar yakin bagaimana caranya bertahan. Aku hanya
melakukannya saja. Dan rupanya, aku lebih kuat dari yang kuduga. Masih sanggup
berdiri pada detik ini adalah buktinya. Walau tak seharipun otakku melewatkan
momen di mana seluruh memori pahit itu berputar, memantik kecamuk emosi yang
semakin lama kian hilang bara apinya. Bukan apa, hanya sudah lelah.
Mereka bilang, sudah seharusnya menatap ke depan,
mempersiapkannya dan melepas dalam damai belenggu luka. Mereka bilang, kita
masih muda. Mereka bilang, banyak yang lebih menderita. Mereka bilang, kamu
terlalu banyak drama—marahlah saja, mereka tahu apa? Hahaha. Menarik, bukan? Kita
tak pernah benar-benar bisa membuat orang lain mengerti, kecuali mereka
merasakannya sendiri nanti.
(II)
Lelahku juga mencakup itu—penghakiman. Aku tidak
peduli lagi kicauan mereka; cibiran, dukungan, atau keduanya yang terlontar
dari dua wajah. Fakta atau tipu daya, aku tak mau tahu. Aku hanya akan berdiri
untuk diriku sendiri tanpa kewajiban menjelaskan diriku pada siapapun. Seperti
kata Ali bin Abi Thalib, yang mencintaiku takkan butuh itu, dan yang membenciku
tak percaya itu. Aku hanya punya pena dan buku untuk menenggelamkan diri dalam
keasyikan duniaku sendiri, yang ajaibnya, membantu meredakan pedihnya.
(III)
Aku harap aku memiliki hati yang besar, cukup besar untuk
menampung penerimaan maaf dari mereka yang mengantarkan aku ke posisi ini.
Cukup besar untuk memaafkan diriku karena bertindak kejam pada diri sendiri.
Cukup besar untuk mencintai Tuhan sebanyak-banyaknya, menyerahkan seluruh
hidupku pada-Nya. Mengikhlaskan segala urusan yang berjalan tidak sesuai
harapan, bahkan yang sakitnya melebihi perkiraan.
Paham betul, kebencian itu menyiksa. Luka yang bernanah
menginfeksi—menggerogoti diri luar-dalam, menimbulkan komplikasi yang
melibatkan titik lain. Seperti bom waktu yang entah kapan akan meledak dalam
kegilaan. Begitu keras kepala ingin melewatkan sesi penerimaan—hanya ingin terbebas
begitu saja dari ini semua! Sayang, tidak ada yang instan. Kita memang harus
meniti setiap jengkal prosesnya—mestinya itu berarti sesuatu.
(IV)
Kamu tahu alasan
beberapa orang menarik diri?
Ikatan memberi peluang bagi dirimu terluka. Perasaan terkhianati
lahir dari kepercayaan, sakit timbul karena kamu memberi rasa. Yaa di tengah
semua itu ada titik bernama ekspektasi. Kendalikan ekspektasimu agar tidak
kecewa pada akhirnya. Barangkali, memang kamu saja yang dimabuk kepayang kebodohan
harapanmu sendiri. Tapi, perlu diketahui. Pihak satunya mungkin berperan dalam
melambungkan ekspektasi. Kamu hanya percaya, tanpa menyadari bahwa dirimu
sedang terpedaya.
(V)
Beberapa orang mencapai titik terbaik dalam hidupnya usai
melewati cobaan terberat.
Sudah berapa banyak buku yang kubaca membuktikan hal itu.
Namun, aku masih tidak bergeming. Aku bergerak perlahan—lambat tapi pasti. Aku
sempat merindukan diriku yang dulu, sangat. Pernah merasa asing dengan
bayanganku sendiri di dalam cermin, hingga aku selalu berpaling, tak mampu
berlama-lama menatapnya balik. Ah, sudahlah. Kenapa aku harus merasakan sensasi
buruk itu lagi menggenangi ingatanku.
(VI)
Aku tidak mau menjadikannya istimewa.
Aku hanya ingin bagian itu hilang dari hidupku. Proses
penerimaan ini pastilah memakan waktu bulanan, atau mungkin tahunan. Aku hanya
dapat sedikit berharap, bahwa pertemuanku dengan orang-orang baik di
sekelilingku, baik lama atau baru, kegigihanku untuk kembali belajar dan
meningkatkan kualitas diri, waktu luang yang kunikmati dengan kegiatan-kegiatan
favoritku, segala hal itu akan mengantarkanku pada titik di mana aku
lupa..bahwa aku pernah terluka sebegitunya.
Aku harap, aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan
siapapun yang berkaitan dengan hal ini.
Di sisi lain aku tahu, itu bukan penerimaan yang
sesungguhnya. Penerimaan adalah ketika aku bisa memaafkan seluruhnya dan
tersenyum tulus. Dengan begitu, aku terbebas.
Mungkin lain waktu.
(VII)
Tulisan ini tidak tercatat sepanjang yang aku bayangkan. Aku
banyak menahan diri kali ini.
(VIII)
29/05/2021 22:54
Aku tidak tahu bagaimana harus mengakhiri tulisan ini. Butuh
hampir empat minggu untuk menyusunnya. Lanjut aku mengetiknya dengan jemariku yang baru saja dipoles bintang dan taman kecil, tak disangka semenyenangkan itu hingga membuat mood-ku naik. Kini benakku dipenuhi bayangan hal apa lagi yang bisa kulakukan untuk membuat diriku sendiri senang. Belakangan aku nyaris terlalu peduli--bila tak ingin disebut obsesi--pada appearance. Aku harus mengendalikan interest ini agar tidak menjadi tak terarah.
Kucingku terbangun dari tidurnya di atas meja di sampingku. Aku menatapnya dan ia memandang hampa ke lantai. Perlahan, kedua mata kecilnya menutup. Ia tidur lagi.
(IX)
Aku harap bisa menulis sesuatu yang lebih cheerful setelah ini.