Malam Pelarian Lain
Malam itu, setelah aku nyaris
berlari menuruni tangga dan melesat keluar kedai, aku meminta tukang ojek yang
kupesan untuk membawaku pergi dengan cepat. Aku membayangkan mata yang mungkin mengawasi
gerakku dari balkon lantai dua, tapi aku tidak peduli. Aku ingin cepat-cepat
menyingkir dari situasi itu.
Sepanjang jalan, aku
menepuk-nepuk dadaku untuk menenangkan diriku sendiri. Meski jantungku masih
berdegup kencang, aku tetap memasang cengiran, memperdengarkan nada santai nan
ceria saat berbasa-basi dengan driver. Ketika motor berbelok menuju
jembatan, entah bagaimana aku mulai menangis.
Bukan, bukan entah bagaimana.
Sepertinya aku sudah tahu akan menangis sejak semua mata teman-teman tertuju
padaku saat aku bilang ingin pulang lebih dulu—sesuatu yang tak pernah aku
lakukan sebelumnya. Aku tak pernah pandai berpura-pura, dan di hadapan
orang-orang yang mengetahui seluruh ceritaku, tindakanku saat itu benar-benar
payah. Aku bahkan mendapati diriku sempat tergagap saat menanggapi kata-kata
mereka. Pertanyaan kenapa dan mau kemana melayang dengan nada
penuh selidik. Walau kurasa, kami sama-sama mengetahui apa yang sebetulnya
mendorongku bersikap begitu.
Aku menggelengkan kepala, bagaimana mungkin aku masih bisa menangis? Kupikir air mataku sudah habis terkuras berbulan-bulan ini. Namun, faktanya air mataku tidak berhenti keluar. Terpaan angin malam saat laju motor membelah jalanan tak juga mampu mengeringkannya. Driverku yang ternyata masih cukup muda, tak henti-hentinya bertanya apa yang membuatku menangis. Sesekali kudengar dia bergumam sendiri, melayangkan sedikit kekhawatirannya ketika aku turun ke tempat tujuanku.
“Yakin lu, Teh? Lagi kondisi kayak gitu.”
Aku mengambil berlembar-lembar
tisu dari wastafel di samping undakan tangga, dan melangkah masuk ke tempat
pelarianku dengan mata sembap. Satu jam sebelum tempat itu ditutup—aku masih
punya waktu.
Aku naik ke lantai dua, tempat
itu lengang dan sepi. Sepanjang mata memandang hanya ada rak-rak buku yang berderet rapi. Cahaya lampunya terasa akrab, warnanya
menawarkan kehangatan. Ketika aku menyusuri rak dengan sisa-sisa tangis di
wajahku, aku sedikit menyesal karena memilih tempat ini. Tidak banyak kursi di
sini. Dinding kacanya akan sempurna jika tidak berwarna hitam dan memantulkan
bayanganku sendiri. Mungkin saja aku akan berdiri berlama-lama di dekat situ
sambil memandangi jalan raya di bawah sana. Sebuah pemandangan yang barangkali
menghibur.
Aku menetap di sana hingga tempat
itu ditutup.
Dan aku belum ingin pulang.
Aku mendatangi temanku yang tengah
berolahraga malam itu. Pertama kalinya aku menyambangi tempat yang nampak
nyaris tak terawat itu. Tak diduga, ramai sekali di dalamnya. Suara decit
sepatu, dan raket yang memukul shuttlecock menggema di seluruh ruangan. Meski
begitu, aku hanya duduk di tribun dan sibuk dengan pikiranku sendiri.
Teman-teman menyapaku, aku menanggapi dengan semangat yang tersisa. Sedikit melegakan
tidak harus menghadapi orang-orang yang tahu persis apa yang telah kau lalui.
Satu jam lagi berlalu.
Dan aku masih belum ingin pulang.
Kami memutuskan untuk mengunjungi
sebuah coffee shop tempat salah seorang teman sekolah kami bekerja. Aku
menghabiskan cukup banyak waktu di sana. Berkenalan dengan orang baru,
mengobrol, menikmati sepiring potato wedges dan segelas perpaduan yakult
dan peach hingga malam semakin larut. Selebihnya, aku terdiam.
Aku lelah dan terlelap. Malam itu, aku sudah terlalu banyak berlari. Namun, aku sedikit merasa puas pada diri sendiri karena sudah lebih mampu mengendalikan diri--cepat-cepat mengatasi situasi itu meski dengan pelarian lain.