Cerita Kaktus #1
This is gonna be a long story.
Jangan menerka-nerka, jangan pula
mencaritahu lebih jauh. Aku tidak sedang membutuhkan penghakiman, atau validasi
dari siapapun tentang yang aku rasakan. Mari sama-sama sibuk dengan hidup
masing-masing hingga tidak menghakimi kehidupan orang lain. Cheers.
Alasanku menulis ini lebih karena ingin merampungkan semua celotehan hampir sepanjang tahun 2020 yang terserak di berbagai tempat—postingan IG, cuitan Twitter, buku harian, bahkan ruang di kepalaku. Aku ingin menumpahkan segalanya, membiarkannya meluap hingga akhirnya terlupakan.
Note: Setiap orang memiliki ketangguhan yang berbeda-beda.
(I)
Februari-Juli.
Mulanya bukan apa-apa, kemudian
menjadi apa-apa. Aku tidak pernah tahu yang namanya masa lalu bisa menjadi
masalah sangat besar. Menghantui. Kesenangan yang sempat kurasakan, rutinitas
baru yang mulai terbentuk, keterbiasaan yang menghantarkan rasa yang tak biasa
perlahan menjadi bumerang bagiku. Aku menelan kata-kataku sendiri, “Aku mau
hati-hati, karena kalau udah jatuh, susah buat lepasnya dan malah sakit sendiri.”
Namun ternyata aku jatuh juga. Dalam. Meski beberapa kali dipukul mundur
oleh keadaan, aku masih dengan bodohnya mencoba berjalan ke depan. Tipikal
ketololanku—belum berhenti kalau belum kapok. Mengabaikan nalar, menutup
telinga, mengesampingkan kecurigaan dan memilih ribuan kali percaya.
Agustus. Awal dari semuanya.
Bulan favoritku malah jadi titik
kejatuhan. Aku masih belum dapat melupakan hari itu, dua minggu sebelum
ulangtahunku. Sore hari. Perasaan hina, kecewa, dan marah—meledak jadi tangis. “Aku
capek,” seruku tertahan sebelum menelungkupkan wajahku dengan kedua telapak
tangan dan terisak keras—lama. Aku beruntung saat itu teman-temanku ada. Gempuran
emosi yang sekian bulan kutahan tersentil dengan satu kebohongan.
Kejadian itu mengantarkanku pada
rahasia-rahasia berikutnya. Rahasia yang takkan pernah aku tahu jika aku tidak
mengambil langkah berani. Hal-hal yang membuktikan bahwa selama ini aku begitu
naif dan bodoh, bahkan tolol. Aku benci diriku yang amat bodoh. Seolah ada
orang yang menertawakan ketidaktahuanku selama ini. Semua kata-kata manis hanyalah
ilusi. Manipulasi. Aku mulai kehilangan kepercayaan diri. Kupikir, aku membuat
seseorang nyaman hingga dia menjadi dirinya sendiri. Rupanya, aku tak pernah
tahu seperti apa dia sebenarnya. Yang ditunjukkan padaku bukanlah yang
sesungguhnya. Dan aku, dengan segala upaya dan ketulusan yang kucoba beri, tidak
berhasil menjadi yang pertama dan satu-satunya. Ternyata, aku tidak pernah. Aku
masih dan akan selalu kalah.
September-Oktober.
Aku tidak yakin apa yang
kurasakan. Sukarela aku menerima seseorang kembali, meski penerimaan maaf tak
pernah benar-benar diterbitkan nurani. Aku terbuai kesenangan semu, hanya untuk
jatuh lebih dalam lagi. Sulit mendeskripsikan perasaan tiga bulan terakhir itu.
Rasanya seperti seseorang yang amat kaupercaya mengkhianatimu. Ia membohongimu
dalam banyak hal, kecil dan besar. Lalu kau baru mengetahuinya kemudian meski
sebetulnya beragam firasat telah memperingatimu sebelumnya, hanya saja kau
memilih diam. Sakitmu dibuat sendiri bukan? Padahal kau punya banyak kesempatan
untuk angkat kaki. Tapi kau membuktikan sejatinya dirimu adalah masokis.
Awal Oktober adalah pukulan lain
buatku. Aku bahkan tidak sanggup menuliskan di sini betapa marah dan kecewanya
diriku saat itu. Aku menunggu kapan ia akan jujur, kuhabiskan pagi-siangku mempersiapkan sesuatu yang memang sudah kuniatkan untuknya. Hingga pada satu titik yang membuatku remuk. Aku berusaha menjaga kewarasanku tetap utuh. Aku mengambil keputusan untuk menyelesaikan semua di titik ini. Entah kejutan-kejutan apalagi yang akan kuterima
di setiap bulannya selama rasa ini masih terpelihara.
(II)
Dulu, seringkali aku skeptis pada
kaum muda yang dengan mudah berkata, “Gimana gue gak punya trust issues?”
tiap kali membaca kisah hubungan yang gagal. Sekarang, aku bisa paham. Aku
sendiri sedang berada di titik terendah yang memaksaku nyaris mengemis pada teman
untuk bertahan denganku.
“Please, stay dulu...jangan bosen
dulu”
“Jangan khianatin aku juga ya,
aku gak tau lagi harus gimana kalau temen-temenkupun juga samanya.”
“Tolong sabar dengerin aku
sedikit lagi.”
Kadang-kadang aku mengatakannya
sambil tertawa, kadang pula dengan keputusasaan yang terpancar nyata. Aku tidak
tahu bagaimana orang lain melihatnya, tapi..aku sungguh-sungguh. Meminta maaf
dan berterimakasih pada mereka yang tetap tinggal dan mau menghadapiku di
masa-masa sulit ini.
Dan kepada seseorang kukatakan,
“..Perasaan butuh kamu lebih
besar daripada sedihnya kalau gak ada kamu. Tolong sabar sama aku sebentar, plis
banget. Aku bakal coba ngertiin untuk sekarang kalau kamu gak bisa selalu ada, tapi
dukungan kamu berarti buat aku di saat-saat kayak gini. Sedikit lebih baik
daripada nihil.” Aku menulis pesan menyedihkan itu dengan kepala berat
yang menahan sedu sedan, hanya bisa bergelung di atas kasur dan berharap
tenggelam saja. Sedangkan pihak satunya tengah sibuk bersama teman-temannya. Bukan aku tidak mau mengerti, tapi aku benar-benar kesulitan. Tidak meminta banyak, hanya telinga untuk mendengar. Begitulah ketika kau mencintai sesuatu hal yang sebenarnya
meracunimu, terlebih melakukannya tanpa otak.
Entah berapa kali aku menangis tiga
bulan terakhir. Dan semakin terlatih untuk menangis diam-diam, tanpa suara,
dengan isak yang teredam. Aku menangis saat terbaring nyalang di dalam kamar
yang gelap. Membiarkan airmataku mengalir saat mataku terpejam. Air mataku kini
mudah sekali merebak tiap hal-hal sedih menyenggolku.
Sayangnya, berbagai kejadian
datang silih berganti. Tiap mengalaminya, aku yang sudah jatuh terus merasa
lebih jatuh lagi. Sampai aku takut sendiri, habis ini ada apa lagi? Aku takut
aku masih bisa tersakiti ketika hal-hal baru lainnya terjadi, membuatku
mempertanyakan, hingga di titik mana aku akan jatuh? Mulai meragukan sekitar. Khawatir kepercayaanku kembali disalahgunakan. Belum lagi, ketika
bercerita, kita harus siap mendengarkan. Belakangan aku berada dalam tahap tidak-mau-mendengar-apa-apa-lagi
yang membuatku urung bercerita pada siapapun.
Aku sadar, entah untuk berapa
lama, aku menjadi orang yang fake. Aku berpura-pura terlihat baik-baik
saja untuk menutupi betapa sedang rapuh diriku. Aku sadar sok tertawa, memasang
senyum lebar, bersenandung dan bercanda, hanya demi terlihat ‘normal’ sebagaimana
aku yang biasanya. Aku berpura-pura antusias menanggapi sekitar lebih karena
hanya tidak enak jika merespon ogah-ogahan.
Yak, sampai sini, aku terima
komentar-komentar lebay, terlalu perasa, sensitif, sakit dibuat
sendiri, bodoh, tolol, goblok, dan lain-lain. Percayalah beberapa temanku
sudah mengatakan 3 kata terakhir itu (untunglah tidak ada yang kejam mengatakan
kata-kata sebelumnya lagi). Sayang, orang yang paling berperan penting dalam
cerita ini sambil menyunggingkan senyumannya mengatakan aku “drama”
karena banyak menangis. Di sisi lain, ia menjanjikan untuk selalu ada,
‘menemaniku’ melewati masa-masa ini.
Masokis bukan? Seperti memeluk
kaktus. Semakin kueratkan, semakin menancap duri-durinya. Sakit. Kebodohanku adalah ilusi kebutuhan untuk terus
berpegangan dengan kaktus itu. Semestinya aku lepaskan saja. Walau harus
berdarah-darah, toh nanti akan sembuh juga lukanya.
Yang pasti..untuk entah berapa
lama aku dirayapi perasaan-perasaan buruk seperti:
aku tidak seberharga itu hingga
layak diperjuangkan. aku tidak sepenting itu hingga layak menerima bertubi-tubi
kebohongan. aku lemah karena terlalu banyak bersandar pada orang lain hingga
lupa cara berdiri di atas kaki sendiri. aku bodoh, bodoh, dan bodoh. aku naif
berpikir bahwa ketulusan dapat melunakkan hati seseorang. aku tidak cukup layak,
aku terlalu mudah, aku bukanlah apa-apa. tidak ada yang bisa dipercaya. orang lain
takkan mengerti sampai mereka merasakannya sendiri. kita semua munafik.
aku benci diriku. benci
seseorang. benci dirinya.
Amarahku meluap-luap ketika sadar
hanya aku yang tersiksa di ruangan ini sendirian, sementara pihak lain asyik
tertawa dan bercanda. Frustrasiku menjalar ketika aku harus menutup mulut dari
sekitar, tidak banyak yang mengetahui kejadian sebenarnya. Tak terbendung
muakku tiap kali mengingat segala kebohongan, dan apa yang sebenarnya pernah
atau sedang terjadi di belakangku tanpa aku tahu. Aku berusaha keras
mengendalikan diriku, meski rasanya semakin kutahan semakin aku ingin mengamuk
pada dunia. Tuhan, aku sungguh tidak ikhlas, tidak rela, tidak terima harus
mengalami hal ini. Kemudian tumbuh pikiran aku ingin semua merasakan hal yang
sama. Yang mulanya tetap mengharap kebaikan untuknya, aku mulai meminta Tuhan
agar karma menimpa. Aku berhati-hati untuk tidak menyimpan dendam, tapi, aku
juga manusia biasa. Bukan malaikat.
(III)
Bukan hidup namanya kalau hanya
punya satu masalah. Barangkali, keadaanku ini menjadi parah karena ini bukanlah satu-satunya hal yang mengganggu. Hanya saja, aku takkan pernah menceritakan
‘hal lainnya’ itu. Ini saja sudah sulit—sekaligus melegakan—untuk diceritakan.
Aku tidak malu mengatakan betapa
rapuhnya aku saat ini. Toh sudah kepalang basah. Lagipula, tulisan ini harus
menjadi pengingat bahwa aku butuh untuk segera bangkit dan kembali menjadi
diriku yang biasanya, dan lebih baik. Aku menulis hal lainnya tentang penerimaan
dan kerelaan di postingan terpisah. Karena aku ingin membuatnya seperti percakapan
dengan Tuhan yang tertuang dalam tulisan. Oh, dan barangkali, lebih ada hal positif yang dapat dipetik dari tulisan tersebut.
Dapat dibaca di Cerita Kaktus (2).