Cerita Kaktus #2
(I)
Dear God,
Pada malam-malam panjang di mana
aku gemar menemui-Mu di sepertiga malam terakhir, atau memperpanjang diamku
usai mendirikan kewajibanku, aku meminta agar didekatkan pada hal-hal yang
mampu membawaku ke arah yang lebih baik. Jika aku tidak memberikan pengaruh
positif bagi seseorang dan sebaliknya, maka jauhkanlah saja kami. Jika hal itu
akan sangat berat, bagiku setidaknya, aku memohon agar hatiku dilepaskan dari keterikatan
pada hal-hal yang salah.
Doa favoritku selama ini adalah,
“Jangan Engkau jadikan cintaku pada makhluk-Mu lebih besar dari cintaku
kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Aku pikir, perkara itu mudah bagi
Tuhan, karena Dialah Sang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Perlahan, aku
sadar adanya jarak tak kasat mata antara kami. Aku mulai berpikir untuk
mengakhiri semuanya meski tak menemukan alibi. Kubiarkan kami tetap berjalan
bersisian, saling melempar semangat dan tetap hangat.
(II)
Pernah dengar frasa, “Tuhan
mematahkan hatimu untuk menyelamatkanmu dari orang yang salah”? Yang terjadi berikutnya mungkin adalah
rencana besar itu. Namun, aku sempat membatin, damage-nya terlalu parah
dan meluas. Aku tidak yakin bisa mengendalikan kecamuk emosi yang berdiam dalam
diriku beberapa waktu lamanya.
Aku tahu ini bukan pertama
kalinya patah hati. Seperti yang sudah-sudah, aku selalu mampu melewatinya. Namun
barangkali, dalam hidup memang akan selalu ada saat yang “paling jatuh”, “paling
bawah”, dan “paling parah”. Mungkin aku sedang dalam tahap itu. Normal.
(III)
Dear God, aku mau
mengadu. Meski Engkau lebih mengetahui persisnya, yang tersembunyi maupun yang nampak
di permukaan.
Pertama. Aku merasa sangat marah
dan tidak terima. Aku benci kebohongan dan tidak tahu apa-apa. Aku muak selalu
menjadi bayang-bayang, serta dibayangi prasangka dan kekuatiran. Tentu bukan
tak berdasar, jika kau ditipu berkali-kali mungkin kau akan mempertanyakan
segala hal yang terjadi di sekitarmu. Siapa saja pula yang dapat kau percaya. Aku marah pada diriku sendiri karena
merasa rendah diri dan tidak layak. Aku mengusahakan sesuatu yang sungguh tidak
ada artinya. Biasanya, aku selalu memiliki pikiran bahwa tidak ada yang sia-sia
di dunia ini. Namun, kali ini, aku merasa semua hanya sampah yang menyita waktu
dengan percuma.
Kedua. Barangkali orang-orang
berkomentar, entah dengan nada kasihan, mengejek, atau malah menghina
kegilaanku. Tersembunyi atau terang-terangan. Namun, aku tidak peduli. Ruang di kepalaku sudah penuh tanpa harus
mengurusi orang lain yang bahkan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Ketiga. Mulanya kukatakan aku
akan selalu mendoakan kebaikan untuknya, dan berharap segala hal baik di dunia
ini memenuhi hidupnya. Namun, kali ini aku ingin dia merasakan hal yang sama.
Keempat. Aku ingin membebaskan
diri dari zona ini. Meski kulihat tak ada jalan melarikan diri kecuali hanya dihadapi.
(IV)
Orang-orang bertanya, apa yang
kamu sukai darinya? Apa istimewanya dia? Apa yang membuatmu bertahan sejauh
ini? Kenapa kamu terus memberi maaf dan kesempatan? Jawabannya, aku sama
sekali tidak tahu.
Dalam salah satu buku koleksiku,
ada kutipan, “Mencintai adalah kata lain dari memiliki hati seorang ibu.” I
got the point. Kamu memberi, tak harap kembali. Dalam kasusku, mungkin aku hanya
bodoh.
Aku merasa..aku telah melakukan
yang terbaik yang bisa kuberikan. Aku melakukannya setulus hati yang bisa
kuserahkan. Jika ikhlas, seharusnya aku tak kecewa tak melihat effort yang
sama dari pihak satunya. Tapi..bukankah aku juga manusia biasa yang ingin
dicintai dan berbagi untuk sama-sama tumbuh menjadi lebih baik? Tidakkah ada
sedikit hal dari diriku yang menggetarkan hati, untuk setidaknya, membuatnya menghargaiku
saja? Aku tak pernah meminta diistimewakan. Tidak pernah. Tak perlu memperlakukan
aku bak ratu, cukup jaga kejujurannya—dengan begitu ia sudah menghormati aku
sebagai manusia dan perempuan.
Mungkin, semua rasa sakit ini
berdasar dari ketidakrelaan. Aku tidak rela terluka sendirian. Istilahnya,
kuusahakan segala untuknya, tapi dia masih berkiblat pada hal lain yang dulu
pernah berharga baginya. Aku tak dapat menyangkal kesedihanku, dan ketika aku
bergelung merana sendirian, dia tak ada karena sibuk dengan dunia di mana hal
berharga itu pernah ada. Tidakkah kau melihat titik frustrasinya?
Ia membuatku mempertanyakan
kewarasanku. Apa aku yang salah? Apa aku terlalu berlebihan? Apakah aku yang
bermasalah? Manipulasi ini membuatku sempat kehilangan arah, sebelum akhirnya
aku tersadar bahwa aku tengah dipermainkan. Sengaja atau tidak.
Menyayanginya, barangkali hanya
dalam imajinasiku saja. Hal-hal indah dan baik yang kusangka kami miliki selama
ini mungkin hanya fatamorgana. Aku ditipu pikiranku sendiri yang mengglorifikasi
perasaan cinta dan rasa ‘kepemilikan’ itu.
(V)
Dear God,
Maaf aku terlalu lama sibuk
dengan diriku sendiri. Aku terlalu bergantung pada orang lain hingga lupa bahwa
Engkaulah seharusnya tempat bersandar terbaik. Aku juga bersalah. Aku terlalu
memaksakan keadaan dan tidak cukup rela untuk melepaskan. Aku menghabiskan
banyak sekali waktu dan tenagaku untuk hal yang tidak berguna--membenci pula. Aku melahap
begitu banyak buku pengembangan diri, dan semua itu memang membantuku
menganalisis perasaanku sendiri dan menyikapi orang lain, tetapi aku belum
cukup mampu untuk mengimplementasikan seluruh kiatnya dalam hidupku.
Seperti yang hampir seluruh
teman-temanku katakan, aku sudah tahu bahwa semua ini toxic. Dengan
sadar aku mengakuinya, tapi dengan sadar pula aku tidak mau angkat kaki dari
ini semua. Aku (masih) selalu menomorsekiankan diriku hingga lupa cara mencintai diri sendiri.
Semoga..setelah ini. Mudah-mudahan
setelah ini. Aku harap takkan ada lagi. Ingin dicukupkan saja sampai di sini.
Nanti, akan ada masanya aku bisa tertawa lepas mengingat ini semua. Sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah.
Untuk siapapun yang membaca ini, dengan tulus aku berharap semoga kita semua akan selalu dikelilingi hal-hal baik. Bahkan mungkin kitalah yang menjadi sumber kebaikan bagi orang lain itu. Semoga kita senantiasa diberi kepandaian untuk memilah mana hal yang sepatutnya kita beri perhatian dan cinta kasih, mana pula yang sebaiknya diabaikan saja. Jika memang harus terluka, mudah-mudahan kita kuat meniti setiap jengkal prosesnya dan terus memilih untuk percaya, bahwa rencana Tuhan lebih dari yang dapat kita bayangkan.
Be good. Always. No matter what.