Dear, You (All)
![]() |
Photo by Suzy Hazelwood from Pexels |
-ditulis pada tanggal 8 Februari, pukul 23.00-
Yang terjadi beberapa jam sebelum ini membuat saya tergerak untuk
menuliskan hal ini. Pertama kalinya menggunakan “saya”, karena kalau
menggunakan aku, takutnya agak cringe mengingat topik tulisan
ini.
Malam ini, teman lelaki saya dengan sopan menyatakan kalau dia akan
berhenti untuk memperjuangkan saya. Beberapa bulan sebelumnya, ia memang
mengakui keinginannya untuk menjadikan kami lebih dari sekadar teman; bahkan
meminta izin, untuk menyukai saya (kembali) dan menjadikan saya sebagai tujuan
akhirnya. Sama sekali tidak ada pembahasan spesifik soal hubungan, dia murni hanya
menyatakan perasaannya. Saat itu, pengakuannya diwarnai ketidakyakinan—sebab
pikirnya saya masih dibayangi masa lalu yang menjebak. Meski menerima semua itu
dengan wajah tenang, saya tak luput memerhatikan nada suaranya yang meragu atau
sikapnya yang agak gugup. Dalam hati, saya memuji keberaniannya.
Kami berteman baik cukup lama, dan ini bukan pertama kalinya dia
menyatakan perasaan kepada saya ataupun berupaya melakukan pendekatan. Kalau
boleh saya katakan, waktu kami saja yang tidak pernah tepat. Ya, seperti
penggalan lagu Fiersa Besari, “Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang
salah..” Sebagian diri saya berpikir, dia adalah hal baik yang mungkin
bisa saya miliki dalam hidup saya ke depannya—tidak sebagai teman, tentu.
Namun, entah kenapa..hmm. Saya ingin menulis ‘keadaan kami tidak pernah
bagus’, tapi sepertinya itu semua bullshit dan keegoisan saya semata
yang ingin menyalahkan keadaan. Sebab, meski menyebalkan, harus saya akui, barangkali
semua ketidakjadian itu adalah kesalahan saya.
Bermula dari semua itu, sekalian saja saya buat tulisan ini sebagai
bentuk ‘tumpahan emosi’ untuk orang-orang yang pernah hadir di hidup saya.
Menaruh hati, mengagumi, bahkan berniat dan berusaha memperjuangkan saya.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk narsis, kepedean, sok-sok-an
atau bagaimana. Kalau kamu membacanya seperti itu, hakmu, sih. Saya hanya
berharap semoga kamu memahami maksud saya.
Semasa SMA, teman-teman dekat saya—baik lelaki maupun perempuan—pernah
bercanda, kalau saya hanya tertarik pada laki-laki yang kurang baik, sedangkan mereka
yang benar-benar baik malah diabaikan bahkan ditolak. Saya ikut tertawa bersama mereka. Tentu saja itu tidak benar! Namun, meski menyebalkan, faktanya menunjukkan... ah, begitulah. Pertanyaan besar yang mengendap di kepala saya hingga
saat ini adalah, “Ketika yang tulus menghampiri, mengapa sulit bagi saya
membuka hati? Kenapa saya selalu jatuh pada orang-orang yang tidak menyayangi
saya sebesar saya kepada mereka, bahkan mungkin tidak membalas perasaan saya
sama sekali? Apa yang sebenarnya saya cari?”
Kemudian, pada satu titik
saya sampai pada kesimpulan: semua ini untuk pembelajaran hidup. Saya
memang harus menelan semua kepahitan sekarang sebelum mengecap manis di akhir. Dinikmati
saja—kebodohannya. Pernah dulu, dengan dagu terangkat, mata berkilat menantang dan
senyum menyeringai, saya berseru kepada teman-teman, “Iya gapapa nih gue
dapet yang buruk-buruk, nanti pas nikah gue pamerin ke kalean semua kalau
akhirnya gue dapet cowok yang baik!”
Hahaha. In a childish way but i wish it comes true.
A datang ketika luka saya dari hubungan sebelumnya masih belum kering.
Tapi dia adalah segala yang saya butuhkan. Saya menyukainya. Dia pun sama. Sayangnya,
saya menolaknya. Dia tak pernah tahu, alasan saya saat itu adalah karena rasa
tidak percaya pada diri sendiri.
B hadir. Dengan tulus menawarkan sebentuk kasih lainnya ketika saya
sedang dimabuk kepayang oleh laki-laki brengski hingga seolah berubah jadi
masokis. Saya tidak bisa melihat B dengan cara yang sama seperti dia terhadap
saya. Ini terjadi dengan dua orang yang berbeda.
C muncul, memberi perhatian lebih dari yang pantas saya terima. Mata saya
tertutup, alih-alih melihat ketulusannya, saya keburu merasa risih dan itu
membuatnya menarik diri dari saya.
Lalu ada D. Laki-laki baik lainnya yang saya temui di kehidupan kampus. Yang
diam-diam menaruh minuman di gagang pintu kostan saya, yang membawa banyak
sekali makanan dan minuman ketika saya sedang tidak mood, yang telah
banyak memperhatikan saya meski saya tidak selalu melakukan hal yang sama
kepadanya.
Untuk yang selalu tersenyum ketika bertemu saya, menyapa dengan bahagia
seolah saya adalah hal indah yang pantas ia puja (dan ini bukan GR, dia memang
terang-terangan mengejar saya dalam waktu yang lama). Untuk yang pernah memperdengarkan
kepada saya lagu Bondan Fade 2 Black yang berjudul Bunga dan berkata, “Ini
lagu aku buat kamu,” yang kemudian membuat saya sedikit terenyuh karena
lirik lagu itu menggambarkan bagaimana dia melihat saya. Juga untuk yang pernah menjadikan
saya sebagai motivasinya ketika berusaha jadi tentara, bahkan repot-repot
mengabari saya sewaktu ia tidak lolos, padahal saya tidak pernah ada selama ia
meniti prosesnya. Saya bahkan agak terkejut, dia benar-benar mengupayakan itu
dengan menjadikan saya sebagai motivasinya.
Terima kasih pernah menyukai saya. Sebagai teman, terima kasih sudah
memperlakukan saya dengan baik.
Detik ini, ketika saya menuliskan ini sambil merefleksikan kehidupan asmara
saya yang tidak selalu mulus (hahaha), saya bisa melihat bahwa saya sangat
kurang dalam menghargai diri sendiri. Saya seringkali sibuk mencintai dan
menghargai orang lain hingga lupa melakukannya untuk diri sendiri. Saya
sibuk menjadi baik untuk mereka yang saya cintai (tapi tidak balik mencintai
saya), sehingga saya mengabaikan mereka yang sibuk mencintai saya dengan benar.
Kemudian, hal itu terus berulang—kesalahan demi kesalahan, yang nyaris
membentuk pola. Saya sibuk menjadi yang terbaik bagi orang lain dengan cara
saya sendiri hingga selalu kehilangan kandidat-partner-baik yang mungkin dapat
membuat saya lebih baik lagi.
Hidup terkadang selucu itu. Atau saya dan pikiran saya saja yang membuat
semua ini jadi ‘selucu’ itu.
Nah, bagaimana cara saya menutup tulisan ini..?
Pertama, untuk orang-orang yang pernah menyukai dan berjuang untuk saya.
Sekali lagi, terima kasih telah memperlakukan saya dengan baik. Saya
senang hingga saat ini kita semua masih—amat—berteman baik. Kita sudah
sama-sama tumbuh dewasa, semoga kita semua juga bisa mendapatkan yang terbaik
pada akhirnya. Dan yang paling penting, kuat dan tabah dalam menjalani
lika-liku kehidupan orang dewasa yang rumit ini sebelum mencapai akhir yang
membahagiakan. Ini tulus. Maaf dan terima kasih.
Kedua, untuk orang-orang yang pernah saya cintai, tapi tidak memedulikan
saya sama besarnya. Untuk hubungan-hubungan kita yang pernah gagal. Hahaha. No
hard feeling. Sudah lama saya bisa memandang semua itu dalam kacamata
jenaka. Saya telah lama bisa menertawakan kebodohan dan ketidakdewasaan kita.
Terima kasih pernah hadir di hidup saya. Saya juga senang hingga saat ini kita masih
berteman baik.
Sekali lagi, saya tidak bermaksud kepedan, narsis, sok-sok-an, atau apa
pun lewat tulisan ini. Untuk mereka yang termasuk ke dalam yang saya sebutkan
di atas: mungkin kalian sudah lupa, atau saya bukanlah bagian penting yang
mengendap dalam memori kalian. Tetapi, saya tidak pernah melupakan
kebaikan-kebaikan yang pernah saya terima. Atas hubungan yang gagal—bahkan
gagal ketika belum sampai ke tahap hubungan—saya tidak pernah melihatnya
sebagai kesalahan. Memang tidak semua yang terjadi itu adalah hal istimewa, karena
hanya beberapa di antaranya saja yang benar membekas di hati saya. Namun,
izinkan saya tetap mengucapkan terima kasih lewat tulisan ini. Sebab tidak ada
pertemuan yang kebetulan. Tidak ada yang kebetulan.
Saya sangat memercayai semua yang terjadi di muka bumi ini sudah diatur
oleh Yang Kuasa. Yang terjadi, pastilah akan terjadi. Ada hikmah di balik
setiap kejadian. Ada pelajaran yang bisa dipetik. Perkara jodoh, yah..memang misteri.
Seperti kematian. Untuk kita semua..semoga kita selalu bisa ikhlas dalam
menerima ketentuan yang digariskan oleh Tuhan, dan tak pernah menyerah berusaha
menjadi versi terbaik dari diri kita.