Masuk Musim Hujan
6
November 2019.
Siang
ini hujan di Karawang, tapi terasa gerah. Tidak ada angin, atau hawa dingin
yang biasa menyertai hujan. Samar-samar aku mencium bau tanah basah—salah satu
hal menyenangkan yang diberikan hujan. Petrichor, begitu mereka
menyebutnya.
Aku
jadi ingat sore kemarin. Hujan juga mengguyur Bandung. Namun, udara terasa
sesak. Padahal aku berada di ruang terbuka—halaman kampus yang membentang luas,
di tengah keramaian teman-teman yang mengenakan toga, menenteng ijazah dan
bunga-bunga dengan senyum lebar mengembang di wajah mereka. Kupikir, sesak itu berasal
dari kepulan asap rokok di segala sisi. Beberapa orang ternyata memilih merorok
saat itu. Mungkin karena hawanya mendukung (?). Aku tidak tahu.
Omong-omong
soal Bandung. Aku menghabiskan beberapa hari di sana, menginap di tempat
temanku. Bagiku, selalu menyenangkan bertemu dengan teman-teman lama.
Mendengarkan cerita mereka atau membagikan ceritaku sendiri. Dibuat tersenyum
meski hanya diam menyimak obrolan, atau aku yang menjadi alasan mereka tertawa.
Kemarin aku berkumpul dengan teman-teman sejurusanku, dan teman-teman SMA yang
masih menetap di Bandung. Lagi—aku bersyukur karena memiliki ikatan pertemanan
yang masih awet hingga saat ini.
Yang
pasti, kedatanganku ke Bandung cukup mengobati kerinduan yang kurasakan selama
di jakarta.
Ah,
Jakarta, ya.
Aku
benar-benar ingin bercerita banyak hal di sini. Terlalu banyak yang telah
terjadi, dan sudah kutumpahkan beberapa di antaranya ke jurnal harianku.
Beberapa minggu terakhir perasaanku campur aduk. Sedih-senang silih berganti (well,
aku tahu hidup memang seperti itu, tapi kali ini rasanya amat memusingkan).
Seringkali aku merasa kosong, nyaris tersesat, seolah aku tidak tahu kemana
arah dan tujuanku pergi. Aku kesana-kemari. Berkutat dengan pekerjaanku,
bertemu dengan teman si ini dan si itu. Namun, ada titik-titik di mana ketika
sendirian aku kembali larut dalam pikiranku. Memikirkan hal-hal di luar diriku.
Dari sekian banyak hal yang kupikirkan, aku sadar sangat sedikit—nyaris tak
pernah ada—ruang di otakku yang kugunakan untuk memikirkan diri sendiri.
Nah,
ini agak sulit dijelaskan. Dan aku memang tidak berencana menjelaskan lebih
detail di sini. Aku mau mendeskripsikan hari-hariku di Jakarta dulu saja.
Rasanya,
waktuku banyak habis di perjalanan dan di kantor. Untuk yang kedua, aku cukup
menikmatinya. Seperti yang pernah kutuliskan, orang-orang di sana baik dan
menyenangkan. Hal-hal lain yang terasa memberatkan dapat kukesampingkan,
karena aku tahu paling tidak aku punya partner sharing yang pengertian.
Kalaupun aku mengalami saat-saat sulit, mereka bisa kuandalkan untuk membantuku
melewati itu.
NAH
LAGI. Biasanya kecamuk pikiranku selalu terjadi saat di perjalanan. Entah saat
di grab bike, atau di dalam transjakarta. Terlebih kemacetan Jakarta
memperpanjang durasi otakku untuk memikirkan banyak hal. Tentu saja di
beberapa kesempatan aku memilih tidur (re: kalau dapat tempat duduk),
membaca buku, atau mendengarkan musik. Jika sudah malam dan aku harus naik
transportasi umum, fokusku hanyalah bernapas dengan benar di tengah desakan
orang-orang yang baru pulang bekerja dan menyesakkan bus. Pada awalnya, kupikir
aku tidak sanggup jika harus seperti itu setiap harinya.
Pemandangan
di luar bus terkadang menenangkan. Seringkali juga tidak. Jakarta tidak pernah
tidur, kata salah seorang temanku. Memang benar. Gemerlap kotanya cukup
menghibur hatiku saat tubuh sudah lelah dan ingin cepat-cepat menemui kasur
tapi terhambat macet. Di sisi lain, rentetan kendaraan yang memenuhi jalanan
membuatku muak. Bukan pemandangan yang ingin kunikmati saat pikiranku sendiri
sudah ramai.
Di
sela-sela waktu itulah, aku rindu Jatinangor, dan Bandung.
Di
otakku, segala hal yang berkaitan dengan dua tempat tersebut seolah berada
dalam satu kotak yang dilabeli ‘MENYENANGKAN’. Bukan berarti Karawang dan
Jakarta sama sekali tidak, tetapi.. yah, ini berkaitan dengan kesan pribadi empat
tahun berkuliah di sana dan hidup ngekos, sih.