That Day
11
Agustus.
Beberapa
orang tidak suka dihadiahi bunga asli, karena menurut mereka, benda itu tak
bisa disimpan lama-lama. Tiga hari berikutnya mungkin malah akan berakhir di
tempat sampah. Tetapi aku suka-suka saja. Tidak masalah bila bunga tidak
memiliki nilai guna jangka panjang. Sama seperti beberapa hari lalu, tanggal 8
Agustus 2019 saat aku menerima banyak sekali bunga dari teman-teman kuliah
maupun sekolah. Aku menyimpannya di dalam sebuah tabung plastik yang berisi air
dan menaruhnya di meja tamu di rumah. Melihat itu masih membuatku tersenyum
hingga hari ini.
Aku
ingin berbagi cerita tentang hari itu, ketika sekian ratus mahasiswa mengenakan toga berwarna merah. Yang wanita, datang dengan sepatu berhak tinggi
dan polesan makeup di wajah. Yang pria, tampak gagah dengan balutan jas dibalik
toganya dan sepatu mengkilap. Jelas kaum Adam tidak perlu ‘seribet’ wanita
ketika menghadiri acara penting seperti wisuda.
Aku
beruntung karena mendapat penata rias dengan
harga—menurutku—terjangkau dan hasil yang memuaskan. Dia telah membantuku tidak
tampak buluk dan gembel di hari itu. Dan, lagi-lagi, aku merasa beruntung
karena kebagian sesi IV di hari Kamis siang. Selain agenda upacara wisuda
setengah jam lebih cepat dibanding sesi pagi, kami keluar aula di sore
hari—ketika matahari tidak lagi terik dan membuat gerah, sehingga sesi foto
berlangsung tanpa bulir-bulir keringat menghiasi wajahku.
Teman-teman
menghampiriku dengan senyum semringah sambil memberikan bunga. “Selamat ya,”
ucap mereka. Beberapa di antaranya memelukku penuh semangat, cipika-cipiki ria
dan menyerahkan kantong plastik atau kertas berisi hadiah. Jelas, aku juga
berfoto bersama dengan keluargaku—yang jelas menjadi motivasi terbesar sepanjang
hidupku.
Senang
rasanya, melihat teman-teman SMA dan teman-teman kuliahku di satu tempat. Ya,
sesenang itu. Momen itu mengingatkan diriku betapa baiknya Allah karena telah
mempertemukan aku dengan orang-orang baik—yang selanjutnya dapat dengan bangga
kusebut teman.
Momen
wisuda juga menjadi ajang penghargaan untuk diriku sendiri karena telah terus
berusaha, dan kembali melangkah ketika aku berhenti sebab lelah. Memang hanya
diriku sendiri dan Allah yang tahu persis, bagaimana jatuh-bangun prosesnya. Mama
bilang ia terharu ketika namaku disebut saat mengambil ijazah, beserta
embel-embel ‘Dengan Pujian’ yang kudapatkan. Papa, meski tidak banyak
berkomentar, aku tahu juga bangga.
Bersyukur
juga karena..masih mampu mengecap bangku perguruan tinggi—ketika masih banyak orang
di luar sana yang belum mampu melakukannya.
Aku
harap tulisan ini tidak menimbulkan kesan negatif bagi yang membacanya. Aku cuma mau bilang (oke, ini klasik) kalau sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Semua mahasiswa di tingkat akhir pasti tahu up and down garap skripsi itu seperti apa. Mulai dari cari topik sampai kesulitan di lapangan. Berapa kali kita mengeluh capek, kesal, tidak sabar, sampai akhirnya tersenyum semringah setelah keluar ruang sidang. Tidak ada yang mudah. Tetapi, di penghujung jalan, jelas hasil takkan mengkhianati usaha kita.
Semoga
kita semua—siapa pun kamu yang tengah membaca ini—selalu dilimpahi kenikmatan
oleh Tuhan. Kalaupun hal-hal kurang baik menimpa kita, semoga hal itu dapat
membawa kita ke arah yang lebih baik. Aamiin.