Sick is Sucks(?)
Aku lagi mikir-mikir apa
kiranya pengalaman lain yang bisa dibagi di sini, dan kali aja bermanfaat buat
orang lain. Eh, ketemu.
Kalau ada yang cukup
sering terjadi padaku seumur-umur selain punya cerita romansa yang aneh-aneh,
jawabannya: sakit. Bukan sakit hati lho, tapi sakit beneran. Dulu setidaknya.
Sewaktu SMA, setiap akhir
tahun ajaran aku memiliki semacam ‘tradisi’ menginap di rumah sakit hahaha. Tentu
gak disengaja, gak tahu juga kenapa timingnya selalu pas akhir semesteran.
Asumsiku, sebagai pemilik tubuhku sendiri, sepanjang tahun itu aku terlalu
memforsir diri sibuk berkegiatan ini-itu, sehingga akhirnya...tepar.
X
Gejalanya gitu-gitu aja. Demam,
lalu berobat ke klinik. Berhari-hari belum turun, baru dirujuk ke RS untuk
berobat ke poli penyakit dalam.
Setelah diperiksa salah
satu dokter spesialis (Dr. Andi namanya, dia yang selalu nanganin aku setiap berobat
ke RS) aku harus cek darah dan nunggu hasilnya sekitar sejam-dua jam. Hasilnya,
aku positif tifus. Dokter menyarankan aku dirawat inap supaya pemulihannya
lebih maksimal.
Dan hal ini terjadi dua
tahun berturut-turut. Penghujung kelas X dan kelas XI.
Aku harap aku bisa
sekalian nulis lebih detail gejala dan tahap pengobatannya. Atau minimal
makanan dan minuman yang harus dikonsumsi maupun dihindari selama pemulihan
tifus, tapi udah gak ingat hahaha. Biasanya kalau dirawat inap gitu dikasih
brosur terkait penyakit yang diderita. Isinya penjelasan umum tentang penyakit
tersebut, pantangannya, bahkan doa kesembuhan juga.
Sebelnya, selama kelas X
berkontribusi sebagai calon anggota OSIS, aku gak bisa ikutan LDKS di
penghujung kelas X itu karena lagi terkapar di RS. Pada akhirnya tetap berhasil
jadi anggota sih, tapi kalau dengar dari cerita teman-teman OSIS waktu lagi
kumpul bareng, momen pas LDKS seru-seru—jadi ketinggalan, deh. Aku rada
menghibur diri kalau masih bisa ikut ngerasain LDKS nanti ketika tiba waktunya
regenerasi, meskipun bukan lagi sebagai peserta tapi penyelenggara. Sayangnya,
lain ekspektasi, lain kenyataan.
XI
Pada penghujung tahun
ajaran kedua, aku masuk RS lagi karena penyakit yang sama. Kali ini rasanya lebih
lemes. Aku ingat suatu siang di rumah, setelah ngambil minum dari dapur, aku
sempat bercermin dan membatin, “gila, ini gue yang emang putih banget apa
emang lagi pucet?” wkwkwk sumpah waktu itu rasanya mukaku putiiiiiih banget
sampe ke bibir. Kalau dalam novel-novel dibahasakannya, ‘..darah surut dari
wajahku..’. Setelah berobat ke RS, ternyata memang gak hanya tifus, tapi
juga kurang darah (well, ini menjelaskan kenapa bayanganku sangat pucat di
cermin).
Berbeda dengan kali
pertama yang hanya dirawat tiga hari, saat itu aku dirawat satu minggu. Aku
juga harus menerima transfusi darah sebanyak satu setengah kantong. Dan
lagi-lagi, aku gak bisa hadir LDKS.
Harus kukatakan bahwa aku
beruntung bisa mendapat pengobatan maksimal dan keluarga yang selalu sigap menemani
selama di rumah sakit. Belum lagi sesi-sesi kontrol pasca opname. Kasihan juga
sih hehehe, sempat berpikir “ngeribetin banget deh gue” tapi.. jelas
yang setiap orangtua inginkan hanya kesembuhan anaknya, jadi aku hanya perlu fokus
ke situ tanpa mikir yang gak perlu.
XII
Entah kenapa mau ketawa
nulis yang ini.
Mungkin karena aku merasa
payah banget keliatan gak bisa jaga kesehatan sendiri. Tapi emang kali ini
sakitnya bukan sekadar ‘kecapekan’. Bahkan bisa dibilang tifus hanya ‘kedok’
aja. Untuk yang satu ini aku masih ingat—jadi bisa kuceritakan detail.
Beberapa hari menjelang
Ujian Nasional, aku sakit. Hasil cek darah menunjukkan positif tifus lagi. “Bisa
rawat jalan kok tapi harus diminum teratur obatnya. Ini tifusnya lumayan tinggi
pasti lemes banget,” kata dokter kliniknya menanggapi kekhawatiran Mama
sekiranya aku tidak bisa melaksanakan UN.
Sejujurnya, UN hanyalah
kekhawatiran nomor dua. Yang pertama adalah, aku takut gak bisa ikut perpisahan
sekolah secara pelaksanaannya diadakan seminggu setelah UN HAHAHA.
Singkat cerita, aku tetap
ikut ujian. Karena disuruh gak boleh kecapean, berangkat maupun pulang sekolah jadi
minta nebeng teman. Berangkat sama A, pulang sama B. Ckckck, kalau diingat lagi
jadi bersyukur punya teman pada baik. Walaupun aku benar-benar merasa fisikku
sangat tidak fit—pilek plus batuk berdahak terus-terusan dan mudah
kedinginan, aku masih bisa haha-hihi sana-sini saat di sekolah. Pernah baca
juga kalau kitanya lagi senang atau bersemangat, sakitpun bisa terasa tidak
terlalu membebani. Eh, ternyata belum aja. Aku ingat sepulang sekolah di hari
kedua ujian, suhu tubuhku naik lagi. Rasanya udah mau pingsan.
**
Usai masa ujian—ajaibnya—sakitku
hilang. Suhu tubuh normal, meskipun masih sedikit batuk pilek. Ini meyakinkan
Mama kalau sakitku kemarin hanya karena tekanan ujian. Aku menjalani hariku
normal dan ceria seperti biasa, sampai tiba hari perpisahan.
Hujan turun siang itu,
menyisakan hawa dingin hingga sore harinya. Aku masih di sekolah menikmati
beberapa penampilan di Panggung Seni, sekaligus menunggu sohibqu si A. Aku
nebeng pulang sama dia lagi. Ribet kan naik angkot dengan gaun kebaya semata
kaki?
Kami menyusuri lorong
sambil ngobrol, dan aku batuk. A bilang batuknya seram. Aku cuma ketawa. Saat
berjalan di lapangan, aku terbatuk-batuk lagi, saking kerasnya sampai aku
berjongkok dan air mataku keluar. “Lin, sumpah serem banget,” kata si A. Waduh-nya,
itu terjadi waktu mantan lagi lewat. Dia sampe nyamperin, mukanya kaget banget
dan nanya, “Alin kenapa?”
“Gak tahu,” kataku, mau
nangis. (Ini gue nangis karena batuk atau disamperin dia yak? Wkwkwk becanda).
Di halaman sekolah aku
begitu lagi, dan di sana ada teman-teman kelas tetangga. Mereka nolong aku yang
batuk sampai terbungkuk-bungkuk dan akhirnya beneran nangis. Sakit sekaligus
kaget, seharian haha-hihi pulangnya begini. Waktu itu aku muntah, tapi bukan
muntahin makan minum. Ga usah disebut kali ya. Temenku bilang mungkin aku masuk
angin. Pokoknya, kejadian hari itu hanyalah awal dari serangkaian kejadian
sejenis lainnya~
**
Aku sakit selama sebulan.
Rekor. Untung lagi libur.
Bolak-balik ke klinik
hingga RS, dikasih obat demam-batuk-pilek sampai obat penambah darah, gak
mempan. Tiap malam demamku selalu turun dengan keringat yang membanjir, tetapi
pagi hari suhu tubuhku naik lagi. Berat badanku turun empat kilo, susah-susah
aku naikinnya eh menyusut begitu aja. Dalam kurun waktu sebulan empat kali
muntah, diawali dengan batuk-batuk yang keras. Aku sampai ngemilin jeruk
nipis buat ngilangin batuk, tapi gak pernah terasa lebih baik. Punggung sebelah
kiriku, di bagiah tengah, lambat laun terasa sakit. Aku mulai gak bisa menarik
napas panjang-panjang karena satu titik di punggungku itu semakin terasa nyeri tiap
aku melakukannya. Bayangin aja kaya gitu selama sebulan.
Dr. Andi menyuruhku ke
sub bagian radiologi untuk di-rontgen. Begitu masuk ke ruangan beliau lagi,
sambil menerawang hasil foto rontgen ia berkata dengan dahi berkerut, “Bu, ini
mah TBC.” Gambar paru-paruku tidak jelas karena diselubungi sesuatu yang
berwarna putih. Bahkan di paru sebelah kiriku hanya kelihatan bagian atasnya
aja. Sambil menunjuk bagian itu dokter menjelaskan, “Yang putih-putih ini
cairannya, Tuh, udah separuh kerendam gini.”
Kata dokter, setiap orang
punya virus TB di dalam tubuhnya, dan berkembang-tidaknya hal itu bergantung
pada kondisi masing-masing individu. Kalau daya tahan tubuh kuat, si TB gak
akan menjadi penyakit, pun sebaliknya. Setelah aku mengulik sendiri dari
internet, Indonesia negara ketiga dengan pasien TB terbanyak di dunia, gak tahu
kalau sekarang. Gejala-gejala yang kutemukan ternyata sama persis dengan yang
kualami: berat badan menyusut, keringat berlebih, batuk lebih dari dua minggu. Gejalanya
memang mirip tifus, tapi tifus gak menyebabkan batuk. Dokter juga bilang, rawat
jalan bisa dilakukan tapi akan sulit. Aku harus konsisten minum obat setiap
hari selama kurang lebih 6-8 bulan. I was like, ?????? Segitu aku
belum tahu kalau aku akan sebenci itu dengan rasa obatnya yang ukurannya
segede gaban.
Aku di-opname
lagi. Kali ini selang infusnya udah kayak keran bercabang. Ada dua cairan yang
harus dimasukin ke tubuhku. Aku masuk ruang paviliun dokter spesialisasi
paru-paru. Pertama kali ia memeriksaku, stetoskopnya ditempel ke punggungku dan
aku disuruh menarik napas. Berat. Katanya, ia bisa mendengar suara air di
paru-paruku yang ternyata cukup banyak. Pantesan napasku terasa berrrrat,
ada airnya.
Karena perlu tindakan
medis, kalau gak salah orangtuaku harus menandatangani surat persetujuan
tindakan gitu. Sejujurnya aku ngeri, imajinasiku tidak bisa membayangkan
bagaimana cara mengeluarkan cairan dari paru-paru tanpa harus memasukkan sesuatu
ke dalamnya. Namun, bisa kulihat orangtuaku lebih khawatir. Jadi aku
berlagak biasa-biasa saja dan selow.
Hari H, tirai antara
tempat tidur dan ruang tv kamar perawatanku diturunkan. Dokter menawari Papa
untuk melihat (barangkali pikirnya mau mendampingi atau apalah), tapi aku
dengar sendiri Papa bilang gak berani. W-o-W orang seperti papski aja gak
berani, makin masang muka biasa ajalah saya dan ngechat salah satu teman
kelasku untuk mengalihkan perhatian dari-entah-apa sang dokter dan perawatnya
lakukan di belakangku. Yup, tindakannya dilakukan dalam keadaan sadar. Sempet
bikin parno, apalagi mereka bawa gunting, suntikan, dan botol air mineral 1,5
liter. Aku duduk, hidungku dipasangi selang oksigen. Dokternya bilang, “Kalau
nanti kerasa sesak ngomong, ya.”
Di titik punggungku yang
sakit itu, aku disuntik dua kali untuk dibikin ‘baal’ katanya. Mati rasa deh. Terasa
ketika isi suntikan itu menyebar cepat. Aku gak ngerasa sakit, hanya kayak ada
selang kecil yang ‘nyangkut’ di punggungku. Lalu terdengar suara kucuran air
seperti saat kamu menyalakan keran.
“Sini pak, liat aja
gapapa,” kata Pak Dokternya lagi ke Papa.
Walaupun penasaran, aku
gak mau menoleh ke belakang. Aku cuma bisa menilai dari percakapan mereka.
“Ohh iya itu airnya
keluar,” ujar Papa.
“Untung masih bersih
cairannya, kalau udah kekuninggan atau sampai berdarah, itu lebih parah,” jelas
dokternya.
Setelah agak lama, aku
mulai terbatuk karena sesak, dokter dan perawatpun menghentikan ‘pengaliran
aer’. Yang kudengar dari ortu kemudian sih, cairannya sangat banyak hingga
botol air mineral 1,5 liter itu hampir penuh. Setelah bla-bla-bla-bla, aku
tertidur.
**
Pertama kalinya minum
obat di rumah pascaopname, aku muntah. Setelah ke RS lagi dan cek darah (lagi)
yang berkaitan dengan liver gitu, ternyata tubuhku gak kuat dengan dosis normal
obat TB untuk orang dewasa. Aku diberi obat dengan dosis lebih rendah dan
jumlah lebih banyak karena ‘pecahan’ dari dosis normal. Jangka waktu
mengonsumsi obatnya juga diperpanjang jadi 8 bulan, normalnya 6 bulan.
Ada satu obat berwarna
oren kemerahan seukuran ujung jari kelingking. Itu yang paling kubenci karena
rasanya gak enak banget demi Allah. Mirip rasa obat penambah darah tapi ini
lebih...iwwww pokoknya. Sayang, dialah pemeran utama untuk memerangi TB, jadi
mau gak mau harus kuminum. Ini juga yang menjadikan Mama ‘agak keras’
menyuruhku minum obat, sebab aku suka berlama-lama melakukannya. Dibelilah
banyak pisang untuk membantuku menelan si oren menyebalkan itu. Dokter bilang,
gak boleh ada satu haripun terlewat. Pengobatan TB harus sampai tuntas.
Well, aku berobat sampai semester dua
kuliah kalau gak salah. Hasil rontgen menunjukkan paru-paruku tampak normal
lagi. Dan setelah itu, aku lebih jarang jatuh sakit. Berat badan juga kembali, bahkan
lebih, hehehe.
Sayangnya, ada efek
samping pribadi. Dari dulu aku bukan tipikal orang yang susah nelan obat entah
itu kapsul/tablet (kan ada tuh orang-orang yang susah nelan, sampai harus
digerus dulu atau dibuat puyer), tapi sejak diwajibkan minum obat selama
delapan bulanan, rasa-rasanya tubuhku sulit mencerna obat berukuran besar lagi.
Sekitar awal tahun ketiga kuliah, aku sakit dan Mama menyodorkan obat yang kami
beli dari klinik. Tiba-tiba aku merasa perutku mengejang kaku—seolah
mengantisipasi masuknya obat. Benar saja, selang beberapa menit setelah
meminumnya, aku muntah. “Trauma itu,” gumam Mama. Esoknya, aku dicarikan obat
sirup deh~
Kalau kuingat lagi, aku
merasa takjub sekaligus bersyukur karena bisa melalui semua momen sakit itu dan
sehat walafiat kembali. Memang gak enak, apalagi ‘sakit’ dikategorikan sebagai
sesuatu yang negatif. Namun, bukan berarti gak ada sisi positif yang bisa
dilihat, kan?