Menyelami Filosofi Teras Untuk Hidup Yang Lebih Damai
“Kamu memiliki kendali atas pikiranmu—bukan
kejadian-kejadian di luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.”
– Marcus Aurelius (Meditations)
[Siapa
itu Marcus Aurelius?] Well, beliau merupakan seorang
kaisar yang dikenal sebagai salah satu dari The Five Good Emperors dan
menjadi salah seorang filsuf Stoisisme. Kalau bagimu beberapa terasa asing,
sama deh. Aku pribadi belum pernah membaca buku self-improvement yang
berlandaskan filsafat teori seperti ini. Biasanya hanya dari segi psikologi,
kesehatan, atau ilmu komunikasi. Terpikir membeli pun tidak, aku meminjamnya
dari seorang teman setelah iseng membaca beberapa halaman pertamanya dan
mendapati bahwa buku ini menarik! Dugaanku, memampang kata ‘filosofi/filsafat’
di judulnya mengindikasikan bacaan ini akan cukup berat dicerna (anggapan ini lahir berdasarkan selera dan keterbiasaan membaca buku dengan topik tertentu, ya) Eh taunya, filsafat
kuno kok kelihatannya sangat lekat sekali dengan keseharian di zaman sekarang?
Penulis
Ini
adalah buku kelima Henry Manampiring setelah sebelumnya melahirkan beberapa
karya, dua di antaranya The Alpha Girl’s Guide dan The Alpha Girl’s
Playbook. Henry sempat didiagnosis menderita Major Depressive Disorder oleh
psikiater setelah dikecamuk berbagai pikiran buruk, cemas, dan kemurungan
selama beberapa waktu lamanya hingga terasa mulai mengganggu kesehariannya dan
orang-orang sekitar. Di tengah masa pengobatan, ia menemukan buku How To Be
A Stoic karya Massimo Pigliucci yang mengarahkannya pada ‘metode terapi
tanpa obat’ yakni, filsafat Stoa (Stoisisme). Hasil pembelajarannya
mengenal lebih dalam dan pengalamannya merealisasikan teori tersebut dalam
kehidupan sehari-hari dituangkan ke dalam buku Filosofi Teras (Filsafat
Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa KIni).
Isi
Nama
sesungguhnya adalah stoisisme, berasal dari kata ‘stoa’ dalam
bahasa Yunani yang memiliki arti ‘teras berpilar’—tempat Zeno si pendiri
pertama filosofi ini mengajar. Para pengikutnya disebut dengan kaum Stoa.
Henry menggunakan istilah ‘filosofi teras’ dalam penulisan buku ini karena
rupanya penyebutan kata stoisisme dirasa sulit bagi beberapa orang.
Seperti
yang diceritakan oleh Henry, filosofi berusia 2.300 tahun yang dikenal sebagai
aliran yang mengajarkan jalan hidup ini tidak menjanjikan cara untuk
menghilangkan kesulitan hidup, melainkan cara mengembangkan sikap mental kita
yang lebih kuat untuk melaluinya.
Terbagi
menjadi 12 bab dengan subbab pembahasan yang cukup banyak, pada dasarnya poin
utama filosofi teras adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali
melalui keselarasan hidup bersama alam (in accordance with nature). Sebagai
manusia yang jelas berbeda dari binatang, kita diharuskan menggunakan akal
sehat dan nalar sebaik-baiknya. Di sini, rasionalitas ditekankan sebagai
keistimewaan manusia itu sendiri. Aku akan membagi sedikit yang menurutku paling
menarik di antara semua bahasannya.
Pembaca
akan dikenalkan dengan dikotomi kendali. Sederhananya, prinsip
fundamental ini menekankan pada fakta bahwasanya ada hal-hal di dunia ini yang
dapat kita kendalikan (pikiran/tindakan kita sendiri), dan ada pula yang tidak
(pikiran/tindakan orang lain, peristiwa alam, popularitas, kekayaan, kesehatan).
Maka jangan terobsesi untuk menjadikan segala sesuatunya berjalan seperti yang
kita mau. Akan tetapi, prinsip ini sempat menuai protes sebab faktanya manusia
masih memiliki andil terhadap hal-hal tertentu. Misalnya saja, nilai akhir yang
akan diberikan dosen sungguh di luar kendali kita, namun kita dapat memengaruhi
hasil akhirnya dengan berupaya mengerjakan tugas yang diberikan sebaik mungkin.
Di situlah letak ‘kendali’ kita yang disebut oleh William Irvine sebagai ‘internal
goal’, dan nilai yang diberikan dosen sebagai ‘outcome’, yang
selanjutnya dikenal dengan trikotomi kendali.
Salah
satu poin menarik lainnya adalah tentang interpretasi dan persepsi individu
terhadap sesuatu hal. Epictetus (salah satu filsuf Stoa lainnya) menyatakan, “It’s not things that trouble us, but our
judgement about things.” Semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, dan
persepsi kita sendiri. Jadi, jangan lagi salah mengartikan bahwa ‘logika’ dan
‘emosi’ adalah dua hal yang bertentangan ya! Ketika ada peristiwa buruk
terjadi, kita langsung membuat penilaian bahwa kita didzalimi orang lain,
lantas merasa paling bernasib buruk sedunia, sehingga emosi negatif lainnya
mengikuti: bete seharian dan bermuka masam.
Perihal
interpretasi ini semakin menarik ketika aku menemukan subab ‘Melawan Lebay’.
Yup, disadari atau tidak terkadang manusia suka mendramatisir hal-hal yang
berkaitan dengan perasaannya. Menurut filosofi ini—yang juga sejalan dengan pendapat
pribadiku—wajar dan manusiawi ketika kamu merasa marah atau sedih saat
mengalami peristiwa tertentu seperti kecopetan, dikhianati teman, gagal ujian,
bahkan putus cinta. Akan tetapi, perlu
diingat bahwasanya hal-hal ini bukan sesuatu yang baru, kamu bukan
orang pertama di muka bumi ini yang mengalaminya. Setiap orang, setiap
harinya, dari zaman sebelum masehi hingga saat ini barangkali tengah mengalami
hal yang sama. Mungkin kasarnya, jangan terlalu merasa ‘istimewa’ karena sesuatu
(baik/buruk) sedang menimpamu. Lagipula sepuluh-duapuluh tahun mendatang
semua akan terlupakan. Menurutku, pernyataan ini memperingatkan individu untuk
tidak terlalu berlarut-larut dalam perasaannya, yang mana itu juga
bagian dari emosi negatif.
See?
Kita
tidak diajarkan untuk menghilangkan emosi negatif, melainkan mengendalikannya,
sebab mustahil bagi seorang manusia hidup tanpa dilanda emosi negatif.
Komentar
Menurut
akooh, gaya penulisan Henry di buku ini benar-benar menjauhkan anggapan
memahami filsafat itu sulit. Bahasa yang digunakan mudah dicerna, disampaikan
dengan ringan pula tanpa kesan menggurui. Pembahasannya komprehensif dan relatable dengan
kehidupan individu sehari-hari. Ditambah lagi beberapa fenomena dengan topik
tertentu yang dicontohkan disertai penjelasan tambahan dari pakar bidangnya.
Seperti pembahasan parenting yang tidak hanya dilihat dari sudut pandang
Stoa, tetapi juga dari segi psikologi anak dan pendidikan.
Buku
ini juga ada sedikit ilustrasinya, jadi tidak begitu membosankan.
Walaupun—bagiku—huruf yang terbilang kecil-kecil sehingga setiap lembarnya
terlihat ‘lebih padat’ tulisan menjadi faktor yang membuatku tidak tertarik
membaca pada awalnya. Overall, buku ini bagus untuk aku, kamu, kita yang
overthinking. Bukan berarti aku menelan mentah-mentah semua isi buku ini.
Ada beberapa pemikiran yang aku tidak setuju, juga beberapa yang meski sudah
kubayangkan berkali-kali tetap rasanya sulit untuk diaplikasikan karena agak bertentangan
dengan nilai-nilai yang kupegang selama ini. Well, lain pembaca, lain
pendapat ya kan.
Pada
aspek ‘hal-hal di luar kendali’ ada subbab yang mengkhususkan tentang opini
orang lain yang—lagi-lagi—sangat relatable dengan kondisi masa kini.
Berikut penggalannya sebagai penutup:
“Epictetus
menyebutkan bahwa hal-hal yang berada di luar kendali kita itu ‘bagaikan
budak..dan milik orang lain’. Interpretasi saya adalah bahwa pendapat-pendapat
orang lain tersebut bisa memperbudak kita. Kita terus-menerus ingin
menyenangkan orang lain, memenuhi ekspektasi orang lain, mendapatkan approval
orang lain, meraih sebanyak-banyaknya likes dan views. Dari
pilihan baju sampai calon suami/istri, semuanya dilakukan tidak dengan
kebebasan melainkan tanpa sadar untuk menuruti orang lain. Apa bedanya kita
dengan budak?” – Henry Manampiring.
Identitas Buku:
Judul: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Buku Kompas
Tahun Terbit: 2019 (Cetakan Pertama)
Jumlah Hlm: 320
Harga: 98.000