Antologi Dunia Jurnalisme
Identitas Buku
Judul: Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya
Penulis: Keluarga Alumni Jurnalistik UNPAD
Tahun Terbit: 2013 (Cetakan Kedua)
Jumlah Hlm: 297
Harga: -
“Manusia itu memiliki nilai-nilai yang universal,
yaitu kebenaran. Orang boleh tidak punya agama dan tidak punya ideologi, tapi
tetap dalam batinnya dia ingin agar kebenaran dan keadilan ditegakkan. Kita
sebagai wartawan harus bisa melihat intisari itu. Lihat dan analisis. Ketika
keadilan dan kebenaran tidak tegak, di situ kita harus bergerak.”
Pesan
di atas mengutip dari salah satu kisah dalam buku ini ketika Mr. Tatsuya
Mizumot, seorang atasan di media Jepang
bernama Jiji Press tempat Rieska Wulandari bekerja, memberinya wejangan
untuk memahami arti menjadi jurnalis yang sebenar-benarnya.
Yup, kali ini aku mau berbagi tentang salah
satu buku yang secara tidak sengaja kutemukan di Perpustakaan Pusat Unpad.
Barangkali kamu juga akan sulit menemukannya di toko buku manapun, sebab dalam
bukunya tertulis ‘dicetak untuk kalangan terbatas’. Namanya juga buku pinjaman,
aku pun hanya memiliki sedikit waktu untuk menamatkan buku ini. Well, tidak
terlalu sulit karena isinya memang menarik—bahkan bagiku yang bukan anak
jurnalistik.
Sebelum
itu, beberapa dari kita mungkin mempertanyakan—termasuk aku—apakah wartawan,
jurnalis, dan reporter itu tiga hal yang berbeda. Melansir careernews.id, berdasarkan
keterangan peneliti media dan beberapa reporter itu sendiri bahwasanya tidak
ada perbedaan khusus di antara ketiganya. Semua bermuara pada satu makna: sebuah
profesi pencari berita. Hanya saja penggunaan istilah-istilah tersebut
tergantung kebijakan masing-masing media.
Penulis
Lebih
jauh tentang lika-liku yang harus ditempuh seorang jurnalis di lapangan
dikisahkan dalam buku ini—sebuah antologi 25 esai yang ditulis oleh para alumni
Jurusan Ilmu Jurnalistik Universitas Padjadjaran generasi tahun 1984-2006. Para
penulis ini berasal dari beragam kalangan profesi; mulai dari jurnalis, dosen,
redaktur majalah, komisioner di lembaga negara, atau pekerja NGO. Membaca
perjalanan panjang mereka selepas kuliah sebagai jurnalis media lokal hingga
internasional, berseliweran mewawancarai orang-orang penting di dalam dan di
luar negeri, menyeberangi pulau untuk menginvestigasi pembalakan liar ataupun
perburuan paus, sempat membuatku membatin: wadaooow hal 'wow' apa aja yang pernah kulakukan di muka bumi ini.
Sinopsis
Kisah-kisah
dalam buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dalam bab (1) Jurnalisme dan
Kepentingan Publik, banyak memuat perbandingan kebijakan dan kebebasan pers
antara Indonesia dan negara lain pada masanya yang dirasakan jurnalis ketika
ikut serta dalam suatu konferensi luar negeri atau bekerja di media lokal maupun
asing seperti The Washington Post, BBC, Mainichi Shimbun, dll.
Dalam
bab (2) Integritas Wartawan juga masih diwarnai perbandingan kesan
bekerja di media lokal dan asing. Meliput peristiwa tsunami Aceh 2004, hingga menderita
malaria dan demam 40 derajat setelah menelusuri kasus penebangan illegal pohon
Merbau berumur ratusan tahun di Papua, hanya sebagian dari rentetan pengalaman
menarik lain dalam bab ini.
Para
alumni yang tergabung sebagai redaksi majalah atau media online dan mengecap
segala dinamikanya (seperti penyusutan pemasangan iklan dalam bentuk
advertorial hingga adu kreativitas para copywriter dalam beriklan) tertuang
di bab (3) Manajemen Media. Perjalanan Irfan Junardi dalam menghidupkan
kembali situs berita tertua di Indonesia pada masanya yakni Republika
Online, menjadi salah satu kisah favoritku dalam buku ini.
Lanjooot.
Hanya ada dua kisah wartawan dalam bab (4) Meliput Konflik, satu yang
berlatarkan serangan Israel ke Jalur Gaza, Palestina; lainnya berupa sebuah
konflik di Mindanau, Filipina. Keduanya berupa perjalanan luar biasa yang hanya
bisa kubayangkan sebagai bagian dari skenario film.
Cerita
dalam bab (5) Pernak-Pernik di Lapangan dan bab (6) Wartawan, Humas,
dan LSM lebih bervariasi lagi. Mulai dari sudut pandang seorang wartawan
film hingga praktisi humas, proses dalam meliput haji, usaha kecil, hingga
praktik jasa pembuatan skripsi. Yang terakhir disebut sungguh uwow.
Komentar
Bicara
soal kekurangan, terkadang banyak istilah dalam dunia jurnalistik yang tidak
mencantumkan keterangan. Awam sepertiku jadi kurang paham. Mungkin karena buku
ini juga memang tidak dimaksudkan menyasar pada pembaca umum, sih. Selebihnya,
aku cukup menikmati ragam kisah dalam buku ini dan gaya penulisannya yang enak
dibaca. Kupikir, jungkir balik persaingan para wartawan mencari bahan
berita cuma bisa dilihat di drama Korea Pinocchio saja. Ternyata..
memang begitulah yang terjadi di balik layar berita. Barangkali itu yang
menjadi keunggulan buku ini—mampu menyajikan cerita yang tidak banyak diketahui
khalayak. Beberapa dari kita pasti hanya membaca artikel atau menonton siaran
berita tanpa tahu—atau tertarik—proses di balik penyusunannya, kan? Nah, buku
ini dapat memberikan gambaran yang kamu inginkan seputar praktik jurnalisme di
lapangan—bahkan, kisah mereka yang berlatar pendidikan jurnalistik namun tidak
terjun ke ranah profesi tersebut.
Sebagai
penutup, berikut kutipan dari salah satu pengisi buku yang menurutku relatable
dengan keadaan masa kini:
“Di
tengah jagat komunikasi hari ini, yang ditandai dengan kian tingginya gelombang
pasang informasi dari sana-sini, orang gampang lupa. Milan Kundera kiranya
benar ketika dia, dalam The Book of Laughter and
Forgetting (1985), kurang lebih mengatakan bahwa kini orang kian tak tuntas
memikirkan satu perkara sebab tiap saat benaknya digedor-gedor oleh rupa-rupa
perkara yang tiada hentinya silang susup menyesakkan media berita. Situasinya
sungguh paradoksal: justru ketika informasi kian melimpah, orang seakan kian
tak sanggup memahami apapun.” – Hawe Setiawan.
Ps:
foto akan selalu seadanya alias ga estetik wkwk