Story: Lelaki Pujaan Kintan
Aku memandang rombongan anak berseragam putih-merah yang tengah menyeberang
jalan dengan riang. Hatiku seolah menghangat, ingatanku melayang ke masa
sekolahku sendiri—belasan tahun lalu. Momen ketika perasaan itu menumbuhkan
ambisi, dan membentukku menjadi seperti sekarang ini..
Lampu lalu lintas berubah hijau; aku melajukan mobilku dengan kecepatan
sedang. Sementara otakku bergerak lambat, memutar kenangan cinta pertama yang
kental dalam ingatan.
***
Aku menatap sosoknya dari kejauhan, sembunyi-sembunyi di balik pagar kawat
sekolah. Warna-warni cerahnya balon amat kontras dengan pakaiannya yang lusuh.
Ia memberikan balon-balon itu pada teman-temanku yang lain. Wajahnya kelihatan
letih, tapi senyumnya terus mengembang. Seorang teman menepuk pundakku keras
sekali. Aduh. Aku meringis sementara ia tertawa mengejek, “Gak
ikutan minta balon?!” cibirnya sambil lalu.
Saat lainnya. Dengan napas tersengal dan kaus lengket oleh keringat aku
menghampiri kawasan kontruksi di tepi jalan besar itu. Aku tahu ia ada
di sana. Kutitipkan nasi bungkus yang kubawa ke pos satpam. Kusisihkan uang
jajanku untuk membelikannya makanan dari warteg terlezat. Pak Satpam
memandangku heran bercampur takjub, “Kamu datang lagi.” sapanya tersenyum.
“Jangan kesini terus, Nak. Lalu lintas sedang ramai di jam-jam ini. Kamu dan
sepedamu bisa terserempet mobil.”
Aku hanya tersenyum sopan. Pak Satpam sudah bilang begitu lusinan kali.
“Gapapa, Pak. Tolong kasih saja titipan saya, jangan beritahu kalau ini dari
saya. Seperti biasa, bilang kalau ini—”
“Ya ya, Bapak akan bilang ini titipan dari Bos. Bapak hapal permintaan
kamu.” Lagi, beliau tersenyum maklum.
Hari-hari lainnya. Kami bertemu di persimpangan sekolah. Ia membungkuk
hingga matanya sejajar dengan mataku. Sorot matanya nampak kagum. “Kintan,”
ucapnya dengan suara serak yang sudah kuhapal di luar kepala. “Namamu
cantik. Kamu juga cantik. Tapi, cantik saja tidak cukup untuk
hidup di dunia yang keras ini. Kamu harus tumbuh pintar, cerdas, membuat bangga
ayah dan ibumu.. Hiduplah dengan baik, Kintan. Jadilah versi terbaik dirimu.”
Ia mengusap kepalaku lembut, lalu kembali menggiring sepedanya dan keranjang
berisi cilok dagangan. Ia tidak tahu kalau aku tahu, tempat tujuannya yang
berikutnya adalah kawasan kontruksi.
Kau pasti tidak bisa membayangkan bagaimana beberapa patah kata darinya,
mampu mendorong seorang bocah kelas 4 SD yang pendiam sepertiku menjadi bintang
kelas hingga kelas 6 kini. Menjadi favorit para guru. Dikagumi kawan-kawan.
Bersemangat untuk hidup di atas rata-rata.
“Nilaimu yang tertinggi lagi!” keluh Nissa berkacak pinggang, pura-pura
marah di sebelahku setelah guru kelas kami mengumumkan hal itu. “Katamu semua
berkat kekuatan cinta pertama. Seribu kali aku bertanya, kamu tetap
gak mau bilang siapa dia! Aku kan penasaran siapa yang bikin
sahabatku berubah begini.” ia memberengut, sementara aku hanya tersenyum getir.
Ceritanya cukup pahit untuk dibagikan, aku belum siap memberitahu
siapapun—kecuali satu, yang kutahu takkan pernah membocorkan rahasia, namun
juga sangat mengerti lebih dari yang bisa kuungkapkan; Tuhan.
Memasuki masa paling krusial dalam umurku saat itu, minggu-minggu menjelang
Ujian Nasional berlalu—siangnya aku mengerjakan banyak latihan soal dan bermain
di sela-sela waktu. Kemudian mengulang pelajaran dan berdoa di malam
hari. Aku harus lulus ujian dengan nilai terbaik. Begitu yang
selalu kutanamkan dalam diriku; dan pada Tuhan, aku meminta-Nya untuk memberiku
kekuatan mewujudkan impian itu. Keberhasilan ini tidak hanya untuk diri
sendiri, melainkan orang yang kucintai—ya, dia. Yang perlu
dicamkan, kau boleh berusaha sendiri hingga titik darah penghabisan, tapi Tuhan
yang memegang kendali segalanya. Itulah mengapa aku tak pernah absen berdoa.
Hingga akhirnya, impian itu terwujud.
Hari itu tiba. Aku nyaris berlari menemuinya, dengan secarik
kertas kecil bertuliskan “LULUS” di genggaman tangan. Langkahku melambat ketika
kudapati sosoknya telah berada di gerbang sekolah.
“Kamu lulus.” Itu bukan pertanyaan, dia sudah tahu.
“Katanya, nilai ujianmu yang paling tinggi dari seluruh murid SD di
kecamatan ini.” Ia menerawang, nadanya terkesima. Aku hanya mengangguk dan
tersenyum tipis.
“Kemarilah..” Ia menekuk sebelah lututnya dan membentangkan tangan
lebar-lebar, mengundangku dalam pelukannya. Saat itulah aku menghambur
memeluknya—cinta pertamaku. Perasaanku campur aduk, senang dan terharu
hingga air mataku membanjir di kemejanya yang kusut.
“Hebat, putriku memang hebat..” bisiknya.
***
“Assalamualaikum, Ayah…” ucapku lirih, begitu sampai di tempat
yang kutuju.
Kupandangi batu nisan milik Setyo Prawira Seruni—cinta pertamaku, mimpi dan
harapanku, Ayahku. Ayah si penjual balon depan sekolah, seorang
kuli bangunan di kawasan kontruksi tepi jalan besar, dan pedagang cilok
keliling—Ia menjelma menjadi apa saja demi menghidupi putri yang ia cintai
tanpa dampingan istri.
Aku ingat tubuh kecilku mengejang kaku dan lidahku kelu saat Ayah berkata
selembut mungkin, “Ibumu menikah lagi. Saat itu keadaan lebih sulit
dari sekarang. Kita memang berkekurangan, tapi tidak miskin. Ayah masih mampu
menafkahi keluarga ini meski tidak seberapa. Tapi rupanya, ibumu tidak tahan
dengan semua ini dan memutuskan untuk pergi… Ayah tidak mengizinkannya
membawamu, Kintan. Ayah boleh kehilangan istri, tapi tidak darah daging Ayah
sendiri..”
“Berjanjilah pada Ayah, seperti apapun keadaannya, kamu akan selalu
menghormati ibumu.” pinta Ayah, seolah memahami tatapanku yang sarat akan sakit
hati dan benci: Ibu meninggalkan kami.
Sejak kusadari betapa besar pengorbanan Ayah dan rasa cintanya terhadapku,
aku bersumpah pada diriku akan memberinya kemewahan hidup. Aku akan tumbuh
menjadi putri cantiknya yang cerdas, sukses, versi terbaik dari Kintan—seperti
yang pernah ia katakan. Sayangnya, begitu cepat Tuhan memanggil Ayah. Tepat
ketika aku hendak naik ke kelas 3 SMP. Membuatku sangat terluka…
Ponselku bergetar. Ada messenger dari Nissa. Ya, Nissa
sahabatku sedari SD itu. Kau masih di makam? Aku sudah selesai packing,
barang-barang kita sudah disatukan biar tinggal angkut. Aku menunggu di
apartemen, kita masih harus belanja sesuatu agar besok di Canberra tinggal
bersantai. Salam untuk cinta pertamamu!, tulis Nissa. Aku
membalas, good girl! Tunggu aku pulang.
Aku menyiram batu nisan dengan air mawar, menabur bunga-bunga di atas
tanahnya yang kering sambil bercerita, “Yah, seperti yang Ayah tahu, aku sudah
lulus kuliah satu setengah tahun lalu. Aku sempat bekerja di sebuah perusahaan
bergengsi, tapi memutuskan untuk melanjutkan studi S2. Ayah tahu aku senang
belajar kan? Suasana kantor yang begitu-begitu saja membuatku jenuh. Aku
mendaftar beasiswa lagi, seperti waktu kuliah kemarin; dan berhasil mendapat
tempat di Australian National University. Di Canberra, lho, Yah.
Keren, kan?” suaraku parau oleh air mata yang mendadak keluar.
“Jangan khawatir, aku tidak sendirian. Nissa juga berkuliah di sana. Entah
sudah berapa banyak tahun kulewati dengan hidup bersama dia, Ayah. Untunglah
Nissa sahabat yang sangat, sangat baik. Dan, oh—apartemen kami akan disewakan
selama kami tidak ada. Ayah sama sekali tidak perlu khawatir... putri semata
wayangmu sedang mengukir cita-cita setinggi mungkin.”
Aku mengecup puncak nisan Ayah dan melangkah pergi. Esok aku dan Nissa akan
ikut penerbangan pagi. Entah apa aku bisa pulang lebih cepat, yang pasti masa
studiku dua tahun di sana. Selama aku tidak di sini, aku hanya dapat menitipkan
Ayah pada Tuhan—penjaga kami yang paling kuat. Semoga Tuhan menjaga cinta
pertamaku, dan.. bolehkah kini aku meminta dipertemukan dengan cinta
terakhirku?
Siapa tahu? Mungkin aku akan menemukan jodohku di Canberra.
_________
Pertengahan Juni lalu, Inspira Pustaka Aksara menggelar lomba menulis
cerpen bertema 'Cinta & Doa'. Cerpen di atas adalah naskah yang
kuikutsertakan, dan menjadi bagian dari 55 peserta terbaik. Kurang lebih
penampakan bukunya macam di bawah ini: