Kami Yang Tidak Sempat Menjadi 'Kita'
4 Februari 2018, 10:33 PM
Aku tidak bisa tidur.
Pilihannya cuma dua, membaca
atau menulis sesuatu.
Aku
sedang tidak tertarik membaca wattpad, apalagi membaca ulang novel-novel yang
ada di kamarku; jadi aku meraih pulpen dan buku yang sengaja kuselipkan di
tempat tidur.
![]() |
pexels.com |
Di
kepalaku terbayang seseorang dari masa lalu. Seorang teman baik yang pernah
kusakiti hatinya karena memberikan jawaban yang tidak ia harapkan. Aku masih
ingat jelas saat itu, bahkan hari-hari sebelum hal itu terjadi, bagaimana kami
cukup akrab hingga membuat kekasihku yang sesungguhnya saat itu cemburu.
Hari-hari di mana aku menikmati momen ketika dia mengambil tempat duduk di
sebelahku dan mulai menyanyikan lagu. Aku selalu suka caranya bernyanyi sambil
memetik gitar, bagiku itu hiburan yang melegakan.
Aku
senang dengan caranya memperlakukanku. Membuatku berpikir, begitulah seharusnya
perempuan diperlakukan. Usai menjalin hubungan dengan seorang yang kasar dan
hobi memperlakukanku seperti sampah, dia seolah hadir menawarkan tempat
berteduh yang nyaman. Aku ingat, siang itu dia menghampiriku dan berkata, “Mana
si monyt itu?
Cowok macam apa yang ngomong anjing ke ceweknya?” dan aku masih ingat,
bagaimana mendadak hatiku lembek seperti marshmellow. Kau
boleh menyebut ini lebay, tapi kita semua memiliki caranya sendiri
dalam mengistimewakan sesuatu.
Hm,
begitu memori tentang seseorang muncul, kenangan-kenangan yang menyertainya
akan mengalir deras. Sebagai orang yang tidak mudah lupa, aku menyimpan baik
segala kenangan itu. Setiap perbuatan orang lain kepadaku, menyenangkan atau
tidak, terpatri mendetail dalam ingatan.
Kembali
lagi pada lelaki yang tengah kuceritakan. Sekian waktu berlalu, begitu banyak
kesalahpahaman di antara kami. Aku dengar dia menyukaiku bahkan sebelum kami
mulai berteman. Aku menyukainya setelah kami berteman. Sudah kubilang, caranya
memperlakukan perempuan membuatku luluh. Saking dekatnya kami, aku ingat rekan
kerja kami pernah berkata, “Kalian kayak permen karet, nempel terus.” Beberapa
orang menganggap kami tampak cocok bersama.
Namun
secara tiba-tiba aku bersama dengan yang lain. Ah, akan sulit menjelaskan
bagaimana aku dan lelaki lain itu mendadak menjadi ‘kita’. Lucu entah
bagaimana, dibanding pacarku sendiri, aku merasa lebih terikat dengan dia. Waktu itu aku
dan dia tengah
bicara di depan pintu ruang kerja ketika si pacar terlihat datang dari ujung
lorong, berjalan ke arah kami—aku memberengut kesal saat laki-laki di hadapanku
ini menyuruhku masuk. Raut wajahnya mengatakan, “Lebih baik kita tidak
menimbulkan salah paham.” Baca: jaga jarak.
Aku
mengerti, tapi aku lebih senang menghabiskan waktu dengan dia.
Selang
hanya satu bulan, aku kembali berstatus sendiri. Apakah dia bergembira setelah
aku bebas? Aku yakin iya. Sayangnya, perpisahan terakhirku membuatku takut akan
menyakiti orang lain lagi. Kemarin itu, aku tidak cukup menyukai pacarku
sehingga melepaskan diri darinya hanya menyisakan ruang untuk rasa bersalah,
tidak lebih. Tak ada rasa yang tertinggal, bahkan keinginan untuk tetap
bertahan. Saat itu pacar hanya mengiyakan keenggananku untuk tetap berhubungan
dan pergi dengan air mata tertahan. Dari sana aku belajar, jangan memulai
hubungan tergesa-gesa; jangan memulai bila ada secuil saja keraguan. Bagiku,
tidak masalah jika hanya diri sendiri yang merasa sakit. Bagaimana cara
menanggungnya, itu urusanku. Tetapi aku takkan tahan bila seseorang merana
karena aku.
Aku
akan menulis seolah dia ini kau.
Pola
pikirku yang baru ini rupanya membuat hubungan kita rusak—kita tidak memulai
apapun, namun kita juga tidak bisa berteman setelahnya. Menyakitkan. Kau dengan
kepribadianmu yang begitu, dan aku dengan cara berpikirku yang semrawut.
Betapa
cepat pikiranku berubah-ubah. Ketika kau—akhirnya—menyatakan perasaan padaku
malam itu, aku yang semula yakin dan dengan mantap menulis jawaban mengiyakan,
pada detik-detik terakhir meragu dan mengubahnya jadi sebuah penolakan..
Kau
harus paham. Sebelum memberi jawaban aku merasa ragu. Lalu aku ingat pelajaran
yang belum lama kudapatkan, jangan memulai
hubungan tergesa-gesa; jangan memulai bila ada secuil saja keraguan. Aku
takut kejadian yang sama akan berulang, menyakitimu seperti apa yang kulakukan
pada yang lain. Jika aku sampai menyakitimu, tidak hanya akan ada ruang untuk
rasa bersalah, tetapi juga ruang untuk merana. Karena aku menyukaimu, lebih
menyukaimu dibandingkan yang sebelumnya—aku tidak dapat mengambil resiko untuk
membuatmu terluka.
Katamu,
kau juga takut menyakitiku seperti yang kau lakukan pada mantan pacarmu. Kalau
kuingat lagi, tidakkah saat itu kita terlalu banyak berpikir? Itu
tidak masalah, aku tidak pernah takut dengan hal seperti itu. Sudah kubilang,
itu urusanku bagaimana menanggungnya. Namun, aku tidak akan memberikan
kesempatan pada diriku untuk menyakiti orang yang penting buatku.
Kau mungkin tidak akan pernah tahu, aku tidak menerimamu bukan karena tidak
suka, justru karena kau istimewa.
Tak
lama sejak kejadian itu, kita sama-sama menarik diri. Ah, ralat—kau yang
menarik diri sementara aku dengan tidak-tahu-dirinya bilang rindu. Kau
dengan kekanakan tegasnya berkata, "Kita tidak bisa
berteman sedekat dulu."
Tidak
apa, saat itu kita bersikap seolah sudah dewasa, padahal kita belum mencapai
tahap itu.
Bermula
dari dua orang yang berteman baik, kita mulai terasa asing. Hubungan kita
hilang-timbul dimakan ego dan gengsi. Kau sempat membenciku, aku sempat merasa
muak padamu. Kau menganggap dirimu korban, rupanya kau juga bersikap
keterlaluan. Kupikir, sejak kejadian terakhir kali di penghujung masa putih
abu, kedudukan kita seri. Tidak hanya aku yang menyakitimu—kau juga
melakukannya padaku. Dulu aku bagaikan mengemis maafmu, ternyata kau juga
berutang maaf padaku. Terima kasih, aku senang kita impas.
Terlepas
dari seperti apa kita sekarang, bahkan mungkin tak pernah sedikitpun terlintas
di benakmu ingatan tentang aku; aku mengingatnya dengan baik.
Ah iya,
lucu; terakhir kali bertemu aku masih berdebar melihatmu. Tidak dalam artian
rasa yang sama seperti kisah yang lalu. Rupanya jantungku juga sadar betul,
Tuhan tidak mungkin mempertemukan satu dengan yang lain tanpa alasan.
Barangkali dengan ini pendoamu bertambah satu, karena aku berharap kau sehat
dan bahagia selalu.
x