Kami Yang Tidak Sempat Menjadi 'Kita'
Amalina Widya
April 17, 2018
0 Comments
4 Februari 2018, 10:33
PM
Aku tidak bisa tidur.
Pilihannya cuma dua, membaca atau menulis sesuatu.
Aku sedang tidak tertarik membaca wattpad, apalagi membaca
ulang novel-novel yang ada di kamarku; jadi aku meraih pulpen dan buku yang
sengaja kuselipkan di tempat tidur.
Di kepalaku terbayang seseorang dari masa lalu. Seorang
teman baik yang pernah kusakiti hatinya karena memberikan jawaban yang tidak ia
harapkan. Aku masih ingat jelas saat itu, bahkan hari-hari sebelum hal itu
terjadi, bagaimana kami cukup akrab hingga membuat kekasihku yang sesungguhnya
saat itu cemburu. Hari-hari di mana aku menikmati momen ketika dia mengambil
tempat duduk di sebelahku dan mulai menyanyikan lagu. Aku selalu suka caranya
bernyanyi sambil memetik gitar, bagiku itu hiburan yang melegakan.
Aku senang dengan caranya memperlakukanku. Membuatku
berpikir, begitulah seharusnya perempuan diperlakukan. Usai menjalin hubungan
dengan seorang yang kasar dan hobi memperlakukanku seperti sampah, dia seolah
hadir menawarkan tempat berteduh yang nyaman. Aku ingat, siang itu dia
menghampiriku dan berkata, “Mana si monyt
itu? Cowok macam apa yang ngomong anjing ke ceweknya?” dan aku masih ingat,
bagaimana mendadak hatiku lembek seperti marshmellow.
Kau boleh menyebut ini lebay, tapi kita semua memiliki caranya sendiri dalam mengistimewakan
sesuatu.
![]() |
www.unsplash.com |
Hm, begitu memori tentang seseorang muncul,
kenangan-kenangan yang menyertainya akan mengalir deras. Sebagai orang yang
tidak mudah lupa, aku menyimpan baik segala kenangan itu. Setiap perbuatan
orang lain kepadaku, menyenangkan atau tidak, terpatri mendetail dalam ingatan.
Kembali lagi pada lelaki yang tengah kuceritakan. Sekian
waktu berlalu, begitu banyak kesalahpahaman di antara kami. Aku dengar dia
menyukaiku bahkan sebelum kami mulai berteman. Aku menyukainya setelah kami
berteman. Sudah kubilang, caranya memperlakukan perempuan membuatku luluh.
Saking dekatnya kami, aku ingat rekan kerja kami pernah berkata, “Kalian kayak
permen karet, nempel terus.” Beberapa orang menganggap kami tampak cocok
bersama.
Namun secara tiba-tiba aku bersama dengan yang lain. Ah,
akan sulit menjelaskan bagaimana aku dan lelaki lain itu mendadak menjadi ‘kita’.
Lucu entah bagaimana, dibanding pacarku sendiri, aku merasa lebih terikat
dengan dia. Waktu itu aku dan dia tengah bicara di depan pintu ruang
kerja ketika si pacar terlihat datang dari ujung lorong, berjalan ke arah
kami—aku memberengut kesal saat laki-laki di hadapanku ini menyuruhku masuk.
Raut wajahnya mengatakan, “Lebih baik kita tidak menimbulkan salah paham.”
Baca: jaga jarak.
Aku mengerti, tapi aku lebih senang menghabiskan waktu
dengan dia.
Selang hanya satu bulan, aku kembali berstatus sendiri. Apakah
dia bergembira setelah aku bebas? Aku yakin iya. Sayangnya, perpisahan
terakhirku membuatku takut akan menyakiti orang lain lagi. Kemarin itu, aku
tidak cukup menyukai pacarku sehingga melepaskan diri darinya hanya menyisakan
ruang untuk rasa bersalah, tidak lebih. Tak ada rasa yang tertinggal, bahkan keinginan
untuk tetap bertahan. Saat itu pacar hanya mengiyakan keenggananku untuk tetap
berhubungan dan pergi dengan air mata tertahan. Dari sana aku belajar, jangan
memulai hubungan tergesa-gesa; jangan memulai bila ada secuil saja keraguan.
Bagiku, tidak masalah jika hanya diri sendiri yang merasa sakit. Bagaimana cara menanggungnya, itu
urusanku. Tetapi aku takkan tahan bila seseorang merana karena aku.
Aku akan menulis seolah dia
ini kau.
Pola pikirku yang baru ini rupanya membuat hubungan kita
rusak—kita tidak memulai apapun, namun kita juga tidak bisa berteman
setelahnya. Menyakitkan. Kau dengan kepribadianmu yang begitu, dan aku dengan
cara berpikirku yang semrawut.
Betapa cepat pikiranku berubah-ubah. Ketika kau—akhirnya—menyatakan
perasaan padaku malam itu, aku yang semula yakin dan dengan mantap menulis
jawaban mengiyakan, pada detik-detik terakhir meragu dan mengubahnya jadi
sebuah penolakan..
Kau harus paham. Sebelum memberi jawaban aku merasa ragu.
Lalu aku ingat pelajaran yang belum lama kudapatkan, jangan memulai hubungan tergesa-gesa; jangan memulai bila ada secuil
saja keraguan. Aku takut kejadian yang sama akan berulang, menyakitimu
seperti apa yang kulakukan pada yang lain. Jika aku sampai menyakitimu, tidak
hanya akan ada ruang untuk rasa bersalah, tetapi juga ruang untuk merana.
Karena aku menyukaimu, lebih menyukaimu dibandingkan yang sebelumnya—aku tidak
dapat mengambil resiko untuk membuatmu terluka.
Katamu, kau juga takut menyakitiku seperti yang kau lakukan
pada mantan pacarmu. Kalau kuingat lagi, tidakkah saat itu kita terlalu
banyak berpikir? Itu tidak masalah, aku tidak pernah takut dengan hal
seperti itu. Sudah kubilang, itu urusanku bagaimana menanggungnya. Namun, aku
tidak akan memberikan kesempatan pada diriku untuk menyakiti orang yang penting buatku.
Kau mungkin tidak akan pernah tahu, aku tidak menerimamu bukan karena tidak
suka, justru karena kau istimewa.
Tak lama sejak kejadian
itu, kita sama-sama menarik diri. Ah, ralat—kau yang menarik diri
sementara aku dengan tidak-tahu-dirinya bilang rindu. Kau dengan kekanakan tegasnya
berkata, "Kita tidak bisa berteman sedekat dulu."
Tidak apa, saat itu kita
bersikap seolah sudah dewasa, padahal kita belum mencapai tahap itu.
Bermula dari dua orang yang berteman baik, kita mulai terasa
asing. Hubungan kita hilang-timbul dimakan ego dan gengsi. Kau sempat
membenciku, aku sempat merasa muak padamu. Kau menganggap dirimu korban,
rupanya kau juga bersikap keterlaluan. Kupikir, sejak kejadian terakhir kali di
penghujung masa putih abu, kedudukan kita seri. Tidak hanya aku yang
menyakitimu—kau juga melakukannya padaku. Dulu aku bagaikan mengemis maafmu,
ternyata kau juga berutang maaf padaku. Terima kasih, aku senang kita impas.
Terlepas dari seperti apa kita sekarang, bahkan mungkin tak
pernah sedikitpun terlintas di benakmu ingatan tentang aku; aku mengingatnya
dengan baik.
Ah iya, lucu; terakhir kali bertemu aku masih berdebar
melihatmu. Tidak dalam artian rasa yang sama seperti kisah yang lalu. Rupanya jantungku juga sadar betul, Tuhan tidak mungkin
mempertemukan satu dengan yang lain tanpa alasan. Barangkali dengan ini
pendoamu bertambah satu, karena aku berharap kau sehat dan bahagia selalu.