Cerita dari Rani
Bercerita tentangmu bukan berarti rindu. Camkan itu.
1.
Ah,
itu kau rupanya.
Kudengar,
kepada teman-teman kau menyebutku manis. Tahukah kau, akupun menganggapmu
begitu.
Di bulan kedua kedekatan kita, di tengah bahasan
chatting yang kurang penting, kau mengganti topik,
“Boleh aku mengatakan sesuatu?”
“Silakan,”
“Malu mengatakannya”
“Ada apa?”
“Kamu mau tidak, jadi pacarku?”
Aneh. Denganku, biasanya kau tidak menggunakan
‘aku-kamu’, melainkan namaku dan namamu. Bukankah seharusnya, “Rani mau tidak,
jadi pacar Alan?”
Hmm mungkin kau gugup sehingga bertingkah berbeda. Entahlah, sebenarnya aku belum cukup mengenalmu. Sudah lama--kupikir--kita saling suka, tentu saja jawabanku, “Ya.”
Oh, lihat. Menit berikutnya, namaku sudah tercantum di
statusmu. Aneh juga. Tetapi, hal buruk apa yang mungkin bisa kupikirkan?
Di bulan ketiga jadian kita.
Sikapmu aneh, masih banyak diam ketika bertemu. Ah iya,
mungkin kau malu dengan teman-teman kita yang hobi ikut campur. Kau tidak suka
disuruh menghampiriku, memperlakukanku begini dan begitu. Kau terganggu dan aku
mengerti. Meski itu berarti aku harus terima hanya bicara denganmu via
aplikasi. Tapi, bisakah kau beri aku sedikit perhatian? Aku merasa agak
kesepian.
Di bulan kelima.
Aku mulai menangis. Aku lelah tak kau anggap ada, meski
hampir setiap hari kita menghadap dinding yang sama. Bila jauh, aku merana tak
kau beri kabar. Pun sekali kau hubungi terdengar seperti basa-basi. Oh,
ralat—terbaca. Karena selama ini kita berhubungan lewat chatting. Aku sudah
memaklumimu sejauh ini. Kumulai habis sabar; begitu hambar, rasanya seperti aku
tidak punya pacar.
Di bulan ketujuh.
Banyak waktu kulewati dengan perasaan galau. Haruskah
aku menyerah? Kau tampak tidak menginginkanku. Sejauh ini kita hanya makan
bersama sekali, menonton film dua kali, dengan aku yang selalu memulai pertama kali. Selalu aku! Inilah aku yang kerap mengabaikan
naluriku sebagai perempuan. Mengendurkan egoku,
menyembunyikan kekhawatiranku, demi kenyamananmu..
Jangan nilai aku agresif, aku begini demi mengimbangi dirimu yang pasif.
Jangan nilai aku agresif, aku begini demi mengimbangi dirimu yang pasif.
Di bulan kedelapan.
Kau memberiku kejutan ulang tahun! Menyenangkan sekali.
Aku berharap setelah ini hubungan kita berangsur membaik. Kau akan
memperlakukanku sebagaimana mestinya. Tidak muluk-muluk, cukup ladeni aku
bicara. Balas ketika kutanya kabar, ajak aku pergi meski hanya makan di kaki
lima. Ya, aku menyayangimu dengan cara sederhana, maka cukup anggap aku ada
agar aku bahagia!
Di bulan kesembilan.
Ah, begini rupanya. Keadaan tak kunjung membaik. Duluan
kuangkat topik mau dibawa kemana hubungan ini. Kuberanikan diri menghampirimu
dan bertanya, “Jadi maumu apa?”
Kau tampak kesulitan bicara. Tanganmu mengepal ketika
berucap, “Nanti malam kuhubungi.”
Kau sebut dirimu lelaki, tapi sangat tidak bernyali.
Jelas sudah akhir kisah ini.
Aku, si keras kepala yang bertahan sia-sia dan tak mau
lebih dulu mengakhiri, selesai dengan ditinggalkan secara menyedihkan. Bukan
tanpa alasan, melainkan terlalu banyak alasan.
Seluruhnya bermuara pada satu inti: kau tidak menginginkan aku lagi.
Seluruhnya bermuara pada satu inti: kau tidak menginginkan aku lagi.
Atau, memang tidak pernah ingin.
Paris, Oktober 2016.