Berubah: Taat atau Tersesat (2)
Pada suatu siang di salah satu tempat makan, aku
mendapat pesan dari seorang kawan.
“Aku benar-benar gak tau lagi ini kenapa. Gimana ya?
Aku udah gak ngerasain lagi feel-nya shalat. Rasanya udah jauh
banget dari agama. Aku bahkan sempat terpikir soal murtad, tapi tentu aja
aku gak akan kaya gitu. Tapi gimana cara menyikapi perasaan
ini?! ”
Syok. Ini masalah serius. Aku tahu itu ketika sadar jantungku berdegup kencang.
Butuh beberapa saat bagiku sebelum mampu membalas. Aku mengingat lagi akar
permasalahannya, darimana semua ini bermula. Aku seperti mendengar suaranya
lagi ketika mengingat saat kami bercakap-cakap..
**
“Laki-laki itu baik. Dia cukup pintar. Sayangnya, kami
berbeda agama. Tapi, biar begitu, semua berjalan menyenangkan! Aku bahkan
mengenal akrab kawan-kawan di komunitas agamanya.”
“Kok bisa?” tanyaku sesantai mungkin.
“Aku sering ikut ketika mereka sedang berkumpul,” ia
melahap sepotong bakso dan terus bicara di sela-sela kunyahan, “Aku melihat
cara mereka beribadah.. Kadang-kadang, aku ikut dia ke tempat
ibadahnya. Aku bahkan bisa menunjukkan padamu gerakannya sekarang kalau saja
kita tidak sedang makan di mall.” Ia nyengir padaku. Aku menjaga ekspresiku dan
tersenyum lemah. Sekarang bakso milikku terasa seperti dibumbui kekhawatiran.
Aku yakin pernah mendengar suatu hadist yang kurang-lebih menyatakan, ‘barang
siapa mengikuti suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam bagiannya..’. meski
aku masih sangat kurang pengetahuan tentang itu.
**
“Jadi..,” ia terdengar ragu di ujung telepon, namun
ada nada tidak sabar untuk segera memberitahuku sesuatu. “aku bermain ke
beberapa tempat, dan mencoba sesuatu.”
Aku merasa yang membuatnya ragu adalah kemungkinan
reaksiku ketika mendengar ceritanya, jadi aku berusaha memperdengarkan nada
ingin tahu yang tenang, “Oh ya? Apa itu?”
“Aku beberapa kali pergi ke kelab malam.”
“Oh ya? Di mana? Memang ada di sekitar sana?”
“Ada banyak, di sini mah.” Ia tertawa geli
sementara aku menghela napas dalam-dalam di sini. Kubiarkan saja dia bercerita
dulu, kusimpan reaksiku di akhir.
“Aku mencoba minuman itu. Yang ini,
yang itu; sepertinya aku pernah mencoba..hampir semua jenisnya? Entahlah,” dia
terkekeh. “Rasanya memang enak. Tapi ada yang kukhawatirkan.”
“Apa?” tanyaku datar.
“Yah, aku cukup paham hukum minum-minum dalam
agama kita. Katanya, shalat kita gak akan diterima selama empat puluh hari, kan
ya? Tapi, sekarang-sekarang ini aku memang jarang shalat, sih. Lagipula kalau
memang gak diterima, gak usah shalat dulu, bukan?” ia terdengar malu-malu, tapi
aku bisa membayangkan cengiran lemahnya di sana.
“Sama siapa ke sana?” tanyaku jengkel, sudah kesal.
“Pacar. Dia yang awalnya mengajakku.”
**
Kembali ke saat ini.
Kalau saja jarak kami tidak terpisah beberapa kota,
aku pasti mendatanginya begitu membaca pesan itu. Saat itu, amarahku terhadap
sosok lelaki yang belum pernah kutemui itu menyala-nyala. Mungkin, dia tidak
sepenuhnya salah. Sifat temanku yang cenderung penasaran akan segala sesuatu
bisa saja mendorongnya mencoba ‘hal-hal baru’. Tetapi seharusnya, sebagai orang
yang mengaku pacar, dia paham akan itu dan mengarahkan temanku ke
hal-hal yang baik. Bukan malah menjerumuskannya. Untuk alasan apa? Sedikit
bersenang-senang? Hanya secuil kenakalan remaja? Persetan.
“Putusin dia," kecamku di kolom chat.
“Dulu kamu gak kayak gini. Aku gak mau tahu jenis pergaulan macam apa yang ada
di kota sana. Yang pasti, pacar kamu gak membawa pengaruh baik. Masa bodoh
cinta-cintaan, putusin dia cepat atau lambat!” Aku tidak tahu apakah dia bisa
merasakan kesenduanku saat menambahkan, “Kalau kamu sampai kayak gini, aku
merasa gagal sebagai teman kamu…”
**
Tentu saja mereka putus. Karena satu dan lain hal.
Tidak serta merta karena aku menyarankan temanku untuk putus.
Butuh waktu beberapa bulan sejak
peristiwa itu. Tentu tidak mudah mengakhirinya, yang kudengar si lelaki sempat
menolak mentah-mentah tidak mau berpisah. Dan mungkin temanku butuh waktu juga
untuk mengenyahkan perasaannya. Namun akhirnya semua itu berlalu. Aku merasa
cukup lega.
Lama waktu berselang hingga temanku mendapatkan
kekasih baru, sementara aku masih sendiri-sendiri saja—jangan tanya kenapa, dan
jangan peduli mengapa; akan menjadi kisah konyol kalau diceritakan.
Berbulan-bulan kami tenggelam ke dalam kesibukan
masing-masing tanpa sempat bertukar kabar. Sesekali kami saling menyapa
di instastory, tapi hanya sekadar itu. Aku menekan rasa penasaranku
tentang bagaimana pacarnya yang sekarang; masih banyak hal-hal yang perlu
kupikirkan. Satu dari sekian hal yang membuat waktu dan pikiranku terkuras
adalah tugas. Namun, tak urung aku sempat bertanya-tanya mengapa kini dia
jarang bercerita. Biasanya dia akan ujuk-ujuk memulai pembicaraan tentang
pacarnya. Aku berpikir, mungkin tidak ada masalah sehingga tak ada yang perlu
diceritakan.
Sampai pada suatu ketika, aku mengalami peristiwa yang
kurang menyenangkan. Sesuatu mengganjal hatiku dan satu-satunya orang yang
terpikir olehku untuk membahas ini adalah teman itu. Malamnya,
aku mengirim chat cukup panjang, isinya adalah curhatku
tentang seorang laki-laki yang membuat perasaanku tidak enak hari itu.
“Gimana kalau nanti kita telfonan? Ada yang mau
kuceritakan juga.” jawabnya di kolom chat.
Beberapa jam kemudian, kami sudah bercakap-cakap di
telepon. Tidak hanya menanggapi ceritaku, ia juga menceritakan kisahnya yang
sekarang. Ternyata dia sudah putus lagi dengan pacar yang kemarin, saat ini dia
sedang mencoba bangkit. Aku menyimak dengan penuh perhatian, seperti biasa
menjaga nada suaraku tetap tenang bahkan ketika mendengar hal-hal yang cukup mengejutkan.
Aku terus memperdengarkan nada kasual selama mengulik-ulik ceritanya. Bagaimana
bisa? Kenapa begitu? Mengapa dia selalu menjadikan laki-laki brengsek sebagai
pacarnya? Yang sekarang bahkan lebih buruk dari yang dulu! Aku
terus merutuk dalam hati. Pengertian dan penyesalan bercampur-aduk dalam
diriku.
“Maka dari itu,” ucapnya di ujung telepon. “Kamu
jangan mau sama laki-laki gak benar. Gak perlu ditanggapi cowok yang
menghubungi kamu itu. Apa-apaan coba dia? Pokoknya jangan, ya—jangan pernah
coba-coba. Ingat, jangan sampai seperti aku sekarang ini.” Ia mengingatkan,
nyaris seperti mengancam.
Jangan sampai seperti aku sekarang ini.
Kata-kata itu bergema di telingaku bahkan ketika
sinyal yang terputus-putus membuat kami terpaksa mengakhiri percakapan malam
itu. Aku beranjak tidur dengan pikiran berkecamuk.
Sedih? Jelas. Siapa yang tidak ketika melihat orang
yang disayanginya terjerumus ke dalam hal-hal buruk? Di sini, aku tidak bisa
semerta-merta menyalahkan pacarnya dan teman-teman sepergaulannya. Aku,
sebagai teman lamanya juga perlu diperhitungkan.
Bagiku, sahabat dan pacar adalah orang-orang di luar
keluarga yang memiliki andil cukup besar dalam kehidupan pribadi seseorang.
Kenapa aku merasa ikut bertanggung jawab atas kenakalannya? Bukankah ketika
melihat kemungkaran kita diperintahkan untuk mengingatkan? Kalau tidak bisa, ya
diam saja--dan itulah selemah-lemahnya iman. Tidak mungkin kan,
kau diam saja ketika temanmu berbuat buruk? Kalau ya, mungkin kau perlu
berkaca: teman macam apa dirimu.
Terlebih, Rasulullah bersabda: "Seseorang
itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di atara kalian
hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman." (HR. Abu
Dawud no. 4833 dan At-Tirmidzi no. 2378). Dalam hadis lainnya, Rasululah
mengingatkan, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat
seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi
mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi
darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya.
Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan
kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR
Bukhari 5534 dan Muslim 2628). Aku cantumkan ini agar kita sama-sama bisa
melihat, betapa seorang teman atau sahabat berpengaruh terhadap diri kita, pun
sebaliknya.
Aku kembali menata pikiranku menyikapi hal ini.
Merantau ke kota lain, hidup di kos-kosan tanpa
pengawasan orang tua; pintar-pintar dalam bergaul adalah hal yang harus
dilakukan. Seperti yang kusebutkan dalam cerita sebelumnya, bukan pilih-pilih
teman ala anak SD; melainkan bersikap selektif. Senakal-nakalnya pergaulan di
kawasan metropolitan menurutku tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
keadaan. Semacam bertanya, ‘kenapa kau mabuk-mabukan?’ lalu diberi
jawaban ‘pergaulan di sini memang begitu’. Oke, mungkin itu benar
adanya. Lingkungan dan teman sepermainan sangat berpengaruh pada diri
kita. Tetapi kita dapat memilih untuk mengikutinya, atau mengabaikannya.
Barangkali memang sulit bagi beberapa orang untuk berdiri melawan arus, apalagi
bila sendirian. Namun, yang aku garisbawahi di sini adalah, bagaimana
si pacar sebagai orang terdekat malah memberikan asupan
negatif paling besar terhadap diri temanku. Tidakkah dia bisa sekadar
menggenggam tangan wanitanya dan menuntunnya ke hal-hal baik? Aku menyisakan
ruang di pikiranku untuk mengutuk laki-laki itu.
Apa yang dikatakannya terakhir tadi? Jangan
sampai seperti aku sekarang ini. Hatiku tergetar aneh—terharu dan
menyesal. Terharu, karena dia mengingatkan untuk tidak jatuh ke dalam hal-hal
yang ‘merusak’, sementara dia sendiri membiarkan dirinya jatuh tersesat.
Menyesal, karena seharusnya aku bisa berperan lebih banyak—membantunya keluar
dari masa-masa sulit dan menata kembali segala impiannya. Aku menyesal tidak
dapat mengatakan dengan lantang betapa sedih diriku bila dia terjerat pada
hal-hal yang merugikannya. Tidak bisa melarangnya setegas yang seharusnya.
![]() |
pexels.com |
Aku mengingat sosok temanku. Sudah berbulan-bulan
lamanya kami tidak bersua. Pergaulannya sudah berbeda sekarang, tapi ia tetap
temanku yang sama. Dia masihlah seseorang yang sangat mengerti diriku. Tahu,
siapa laki-laki yang menurutku istimewa dan hafal betul aku akan luluh padanya
sebagaimanapun menyebalkannya dia. Dia masihlah seorang teman yang sangat
pengertian dan setia kawan; tidak rela aku diperlakukan buruk oleh orang lain.
Dia adalah sosok yang berani, namun juga hangat; sederhana, tapi hebat. Aku menyayanginya seperti saudari. Aku menyesalkan sikapnya yang
terkungkung dalam entah-kenakalan-apa-saja yang telah diperbuatnya di sana.
Dulu, dia seorang perempuan yang memiliki banyak mimpi…
Mungkin aku kurang tegas, tak mampu
bersikap keras. Sebagai teman, aku hanya dapat mendoakan kebaikannya. Siap
memasang telinga kapanpun dia butuh aku untuk mendengarkan. Aku tahu dan
percaya, dia seseorang yang baik, dan dapat menjadi lebih baik.
_____
Setiap orang pasti pernah memiliki masa-masa kelam
dalam hidupnya. Masa-masa di mana dia merasa jatuh atau terlalu
bersenang-senang menikmati dunia hingga lupa ajal bisa datang kapan saja.
Orang-orang terdekat kita memang akan memegang peranan besar untuk membuat hal
itu semakin parah, atau justru dengan berani menyadarkan kita kalau itu salah.
Tetapi kita tidak selalu dapat mengandalkan bantuan orang lain, karena diri
sendirilah yang harus memutuskan—masa muda kita mau diisi dengan hal-hal
bermanfaat atau malah penuh sesat?